Biografi Tokoh Pejuang Sulawesi – Idrus bin Salim Al-Jufri (Guru Tua)

Biografi Tokoh Pejuang Sulawesi - Idrus bin Salim Al-Jufri (Guru Tua)

0

Al-Habib Idrus bin Salim Al-Jufri atau lebih dikenal dengan Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri atau Guru Tua (lahir di Taris, Hadramaut, Yaman, 15 Maret 1892 – meninggal di Palu, 22 Desember 1969 pada umur 77 tahun. As-

Silsilah Beliau….Sayyed Idrus bin Salim bin Alwi bin Saqqaf bin Muhammad bin Idrus bin Salim bin Husain bin Abdillah bin Syaikhan bin Alwi bin Abdullah At-Tarisi bin Alwi Al-Khawasah bin Abubakar Aljufri Al-Husain Al-Hadhramiy yang mempunyai jalur keturunan dari Sayyidina Husain bin Fatimah Az-Zahra Puteri Rasulullah SAW.

merupakan tokoh pejuang di Provinsi Sulawesi Tengah dalam bidang pendidikan agama Islam, sepanjang hidupnya, ulama yang akrab disapa Guru Tua ini dikenal sebagai sosok yang cinta ilmu. Tak hanya untuk diri sendiri, ilmu itu juga ia tularkan kepada orang lain. Salah satu wujud cintanya pada ilmu adalah didirikannya lembaga pendidikan Islam Alkhairaat sebagai sumbangsih nyata Guru Tua kepada agama islam. Alkhairaat dirikan di Palu, Sulawesi Tengah, kala usia Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri menginjak 41 tahun.

SIS Al Jufri dianggap sebagai inspirator terbentuknya sekolah di berbagai jenis dan tingkatan di Sulawesi Tengah yang dinaungi organisasi Alkhairaat, dan terus berkembang di kawasan timur Indonesia.

Pada tahun 2014 nama Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri juga diabadikan sebagai nama baru bandara Kota Palu dan Provinsi Sulawesi Tengah, sebelumnya bandara kebanggaan Kota Palu bernama Bandara Mutiara atas pemberian dari presiden Soekarno,  saat pertama kali dioperasikan 1954 dengan nama Bandara Masovu, namun kemudian berganti nama sejak 28 Februari 2014 setelah Menteri Perhubungan Evert Ernest Mangindaan membubuhkan tanda tangan di surat keputusan perubahan nama bandara Mutiara.

Perubahan nama bandara itu juga untuk menghargai jasa serta perjuangan Sayyid Idrus bin Salim Aljufri dalam menyebarkan ajaran Islam di kawasan timur Indonesia. Disaksikan Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola, dan pejabat Kementerian Perhubungan RI, para bupati/wali kota se-Sulawesi Tengah dan keluarga besar Alkhairaat meresmikan operasional serta mengukuhkan perubahan nama dari Bandara Mutiara Palu menjadi Bandara Mutiara SIS Aljufri Palu.

Beliau masuk ke Indonesia dan menetap di Pekalongan untuk beberapa waktu lamanya dan menikah dengan pasangan hidupnya Syarifah Aminah binti Thalib Al-Jufri dan bersama menikmati pahit manisnya kehidupan.Ketika itu beliau berdagang kain batik tetapi tidak mendapat kemajuan karena cintanya kepada dunia pendidikan melebihi dari segala-galanya. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua anak perempuan, Syarifah Lulu’ dan Syarifah Nikmah.

Syarifah Lulu’ kemudian menikah dengan Sayyid Segaf bin Syekh AI-Jufri, yang salah seorang anaknya adalah Dr. H. Salim Segaf Al-Jufri, Menteri Sosial Indonesia ke-26 dan Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi dan Kesultanan Oman Periode 2005-2009. Habib Idrus kemudian meninggalkan perdagangan dan beliau pindah ke Solo.

Di Solo, dengan dibantu oleh Sayid Ahmad bin Muhammad (mantan muridnya di Hadramaut) yang sudah lama mukim di Solo, mewujudkan niatnya untuk mendirikan madrasah yang diberi nama “Perguruan Arrabithah Alawiyah”.[5] Beliau dilantik sebagai Guru dan Kepala Sekolah di Madrasah Rabithah Al-Alawiyyah. Setelah beberapa tahun beliau pindah ke Jombang dan tinggal beberapa lama di sana.

Jombang

Pada tahun 1926, beliau pindah ke kota Jombang. Habib Idrus berkenalan dengan beberapa tokoh Islam di antaranya K.H. Hasjim Asy’ari pendiri organisasi Nahdlatul ‘Ulama (NU) di Jombang yang juga pemimpin Pondok Pesantren Tebuireng.

Pertemuan kedua tokoh ini menjalin persahabatan yang sangat baik, karena keduanya sama-sama pimpinan agama, terutama karena keduanya mempunyai ikatan pemahaman yang sama yakni sebagai penganut paham Imam Syafi’I (ahli sunnah wal-jamaah).

Indonesia Timur

Kemudian beliau memulai perjalanannya ke Timur Indonesia untuk memberi petunjuk dan berdakwah di jalan Allah.

Antara lain di Maluku dan menetap untuk beberapa bulan lamanya sambil melakukan lawatan dan dakwah bebeberapa wilayah kecamatan seperti Bacan, Jailolo, Morotai, Patani, Weda, Kayoa dan sebagainya, selanjutnya ke Sulawesi Utara, Sulawesi selatan, Kalimantan dan Irian Barat.

Beliau kemudian berlayar menuju Manado, atas ajakan kakak beliau Habib Alwi bin Salim Aljufrie yang berada di Manado. Ketika kapalnya singgah bersama rombongan menginjakkan kaki pertama di Pelabuhan Wani, Kabupaten Donggala, pada 1929, Habib ldrus menggunakan kesempatan itu untuk berkonsolidasi dengan komunitas Arab yang dipimpin Syekh Nasar bin Khams Al-Amri, di situ beliau mengutarakan tentang rencananya untuk mendirikan madrasah di kota Palu.

Setibanya di Manado, Habib ldrus mendapatkan telegram tentang hasil musyawarah masyarakat arab yang ada di Kota Palu mengenai pendirian Madrasah. Pada akhirnya disepakati bersama bahwa sarana pendidikan berupa gedung akan disiapkan oleh masyarakat arab Palu, sedangkan gaji guru, Habib ldrus yang akan mengusahakannya.

Palu

Pada tahun 1930 M Guru Tua pun pindah ke Kota Palu yang kala itu bernama “Celebes” pada masa penjajahan Belanda, setelah mendapat undangan dari beberapa tokoh bangsa Arab di Palu dan Wani yakni Ibrahim bin Zain, Sayid Muhammad bin Muhsin Rifai dan Sayid Ahmad bin Ali Almuhdar di Wani Kecamatan Tawaeli. Kehadiran Guru Tua di Wani merupakan wujud dari keinginan masyarakat setempat yang ingin mengenal Islam lebih baik, menggunakan ruangan Toko Haji Quraisy di Kampung Ujuna sebagai ruangan belajar mengajar dan kemudian pindah ke rumah Almarhum Haji Daeng Maroca di Kampung Baru (Depan Masjid Jami-Kampung Baru).

Rupanya di Palu inilah memberikan inspirasi yang kuat untuk tinggal dan menetap dalam rangka melakukan dakwahnya setelah menyaksikan keadaan masyarakat yang masih sangat terbelakang dalam pemahaman ajaran Islam. Pemerintah Belanda yang saat itu menduduki Donggala tidak memberikan izin pendirian madrasah karena dianggap bisa memengaruhi pemikiran rakyat saat itu, sebagian pengikut Guru Tua di Wani dituduh terlibat pemberontakan Salumpaga di Tolitoli.

Guru Tua akhirnya mendirikan sekolah di Palu, sekitar 30 kilometer dari Wani. Madrasah tersebut bernama Alkhairaat.Dan pada tanggal 30 Juni 1930 M setelah mengurus perizinan pendirian dan surat-surat lainnya ke pemerintah Hindia Belanda, maka, diresmikanlah Madrasah AI-Khairaat di Kota Palu. Kepindahan perguruan Alkhairaat ke Palu tidak serta merta bebas dari pengawasan Pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda dikabarkan juga sempat melarang Perguruan AlKhariraat karena ajaran Guru Tua, khususnya yang bersumber dari kitab Izhatun Nasyi’in, karya Musthafa Al-Ghalayani.

Salah satu strategi yang digunakan agar cepat diterima masyarakat Palu, Sayid Idrus menerima saran dari beberapa tokoh masyarakat, Guru Tua pun memutuskan untuk menikahi salah seorang bangsawan Puteri Kaili yang juga merupakan sosok perempuan yang sangat berperan dalam pengembangan Yayasan Alkhairaat Pusat. Dengan ketetapan hati dan petunjuk dari Allah SWT pada tahun 1931 M Guru Tua pun menikahi Intje Ami Dg.Sute. Dari perkawinan ini beliau dikaruniai dua orang puteri, Syarifah Sidah Aljufrie dan Syarifah Sa’diyah Aljufrie.

Kematian.

Habib ldrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah AI-Khairaat dan murid-muridnya yang telah memberikan pengajaran serta pencerahan agama kepada umat. Mereka para murid-murid AI-Khairaat menyebar di seluruh kawasan Indonesia untuk meneruskan perjuangan sang Pendidik yang tak kenal putus asa ini. Salah satu murid beliau yang melanjutkan dakwahnya adalah Ustad Abdullah Awadh Abdun, yang hijrah dari kota Palu ke Kota Malang untuk berdakwah dan mendidik para muridnya dengan mendirikan pesantren Daarut Tauhid di Kota Malang.

Tahun 1968, Habib Idrus mengalami sakit parah, selama delapan bulan ia meminum jus kurma. Walaupun dalam keadaan sakit, ia tetap menjalankan majelis mengajar setiap waktu.[2] Masih dalam suasana ldul Fitri, sakit parah yang telah lama diderita Habib ldrus kembali kambuh. Bertambah hari sakitnya semakin berat. Maka, guru, Ulama dan Sastrawan itu wafat, pada hari senin 12 Syawwal 1389 H betepatan dengan 22 Desember 1969 M. sebelum menjelang detik-detik kewafatannya, Habib ldrus sudah mewasiatkan tentang siapa saja yang memandikan jenazah, imam shalat jenazah, tempat pelaksanaan shalat jenazah, siapa yang menerima jenazah di Liang lahat, muadzin di liang lahad, sampai yang membaca talqin di kubur.

Habib ldrus telah mempertaruhkan seluruh hidupnya dalam mengarungi perjalanan panjang dengan berbagai sarana ke kepulauan di sekitar Sulawesi dan Muluku untuk menyiarkan pengetahuan Islam.

Beliau berpindah dari satu pulau ke pulau yang lain menggunakan perahu sampan, gerobak sapi dan kenderaan lainnya bahkan dengan berjalanan kaki dengan bermacam risiko, tantangan dan bahaya yang selalu mengancam di setiap saat. Akan tetapi Habib ldrus selalu merasakan kenikmatan di antara pertaruhan jiwanya dan beliau rela memberikan apa saja meski jiwanya sekalipun.

Ketabahannya dalam mengarungi pelayaran itu sampai berbulan-bulan lamanya. Dan kadang-kadang perjalanan itu di tempuh dengan berjalan kaki jika tidak mendapatkan alat-alat transportasi.

Hingga akhir hayatnya, Sayid Idrus berhasil membangun 420 madrasah yang tersebar di seluruh wilayah Palu.

Warisan.

Bangunan sekolah yang pertama adalah di bangun atas biaya beliau sendiri di kota Palu, yang merupakan sekolah Islam yang pertama di Negeri Palu dan kemudian berkembang menjadi cabang-cabang mencapai ratusan madrasah tersebar di kota-kota dan kampong-kampung di bagian Timur Indonesia yang diberi nama “ALKHAIRAAT”, dengan harapan optimis dan keberkatan dari nama tersebut yang banyak kali di sebut dalam Al-Qur’an dan secara resmi madrasah tersebut di buka pada tanggal 14 Muharram 1349 H bertepatan dengan 11 Juni 1930. dan pada peresmian itu di hadiri oleh para pemuka-pemuka Arab yang tinggal di Palu dan sebagian petinggi-petinggi negeri.

Dalam perkembangannya, pengelolaan Madrasah sepenuhnya ditangani oleh Habib ldrus. Para murid yang belajar di sana tidak dipungut biaya sama sekali. Hal ini karena Habib ldrus mengadaptasi sistem pendidikan arab yang pada umumnya tidak memungut biaya kepada para muridnya. Sehingga para murid lebih fokus dalam belajar. Habib ldrus memberikan gaji kepada para guru dan staf sekolah dari hasilnya berdagang.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.