Sejarah Awal Pengibar Sang Saka Merah Putih

Sejarah Awal Pengibar Sang Saka Merah Putih

0

Suatu siang pada awal bulan Agustus 1946, Presiden Soekarno dari ruangannya memanggil ajudannya, Mayor Laut Hussein Mutahar. Demikian disebutkan dalam buku panduan pelaksanaan pelatihan Paskibraka Nasional 2016 terbitan Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Pak Karno meminta Mutahar mempersiapkan sekaligus memimpin upacara bendera peringatan Hari Kemerdekaan pertama Republik Indonesia 17 Agustus 1946 di halaman Istana Presiden, Gedung Agung, Yogyakarta. Saat itu, ibu kota Republik Indonesia sedang dipindahkan ke Yogyakarta.

Mutahar kemudian berpikir. Alangkah baiknya jika upacara bendera dilakukan oleh pemuda-pemudi se-Indonesia. Tujuannya, tidak lain untuk menumbuhkan rasa persatuan bangsa.

Namun, keinginan Mutahar sulit terlaksana. Ia hanya dapat menunjuk lima orang, yakni dua putra dan tiga putri sebagai “Pasukan Pengerek Bendera Pusaka”. Lima orang itu menggambarkan jumlah sila pada Pancasila.

Kelimanya adalah pelajar SMA perwakilan daerah yang tengah mengenyam pendidikan di Yogyakarta.

Meski masih di luar cita-cita Mutahar, tradisi awal Paskibraka terbentuk dari sini. Perekrutan Pasukan Pengerek Bendera Pusaka pada Hari Kemerdekaan RI selanjutnya, yakni 1947, 1948 dan 1949, menggunakan pola yang sama.

Pada 17 Agustus 1950, seiring pemindahan ibu kota RI kembali ke Jakarta, untuk pertama kalinya bendera pusaka dikibarkan di “tiang 17” Istana Merdeka, Jakarta.

Pada periode 1950 hingga 1966, Pasukan Pengerek Bendera Pusaka juga tidak lagi dipilih oleh Mutahar. Pasukan dipilih dan diatur langsung oleh rumah tangga presiden.

Tahun 1967, Mutahar kembali dipanggil Presiden. Saat itu Presiden adalah Soeharto. Ia meminta Mutahar menangani kembali Pasukan Pengerek Bendera Pusaka. Pak Harto ingin meneruskan tradisi pada awal kemerdekaan.

Mutahar kembali berpikir keras. Akhirnya, jadilah formasi pengibar bendera yang hingga detik ini digunakan.

Formasi terdiri dari tiga kelompok, yakni Kelompok 17 sebagai pengiring atau pemandu bendera, Kelompok 8 sebagai pembawa bendera, dan Kelompok 45 sebagai pengawal bendera. Angka kelompok itu merupakan simbol dari tanggal Hari Kemerdekaan RI, tanggal 17, bulan 8, tahun ’45.

Tahun 1969 cita-cita Mutahar akhirnya tercapai. 17 Agustus 1969, seluruh Pasukan Pengerek Bendera Pusaka adalah pemuda tingkat SLTA utusan dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Utusan terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.

Tahun 1973, istilah Pasukan Pengerek Bendera Pusaka lalu berubah menjadi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Akronim itu dicetuskan seorang sarjana seni rupa bernama Idik Sulaeman, adik pandu Mutahar.

Idik juga menyempurnakan bentuk Paskibraka dengan membuat lambang korps, lambang anggota, tanda pengukuhan berupa lencana, hingga seragam resmi.

Siang, 8 Agustus 2016, sembilan hari sebelum perayaan Hari Kemerdekaan ke-71 Republik Indonesia, sebanyak 66 anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) berlatih di Kompleks PP PON, Cibubur, Jakarta Timur.

Meski 71 tahun berlalu sejak Pasukan Pengerek Bendera Pusaka dibentuk, semangat menumbuhkan rasa persatuan bangsa melalui tugas mengibarkan bendera Merah Putih tidak memudar.

Panas terik, debu, dan keringat menemani putra-putri dari pelosok Nusantara itu setiap hari selama mengikuti seleksi.

Mereka adalah perwakilan pelajar dari seluruh Indonesia yang lolos seleksi tingkat sekolah, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, dan pusat. Empat Paskibraka terbaik di masing-masing provinsi dikirim ke Jakarta. Setelah itu, dua diseleksi kembali untuk ditugaskan menjadi Paskibraka di Istana dan di provinsi asal.

Penanggung jawab pelatihan Paskibraka 2016 Ibnu Hasan mengatakan, pelatihan Paskibraka tahun ini berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kini aturan seleksi Paskibraka menjadi sangat ketat dan obyektif.

“Mau dia anak tukang ojek, anak jenderal, anak pejabat, punya peluang yang sama. Tidak ada main mata lagi,” ujar Ibnu.

Musvika, putri seorang nelayan di Desa Tanjung Karang, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, misalnya. Pelajar kelas II SMA kelahiran 14 September 2000 itu sama sekali tidak mengira terpilih jadi anggota Paskibraka.

“Bapak dan ibu, bangga banget. Mereka bersyukur karena saya termasuk orang pertama, perempuan di Kabupaten Nunukan yang masuk seleksi nasional,” ujar Vika yang mengaku tidak membawa bekal uang saat pergi ke Jakarta.

Seperti Vika, Laurensius GR Rentanubun juga tak mengira akan menjadi anggota Paskibraka. Namun, Laurens meyakini, ada campur tangan Tuhan dalam perjalanannya ini.

“Ini jalan Tuhan karena Tuhan yang mengatur segalanya. Fisik dan mental saya juga yang mengantarkan saya sampai ke sini,” ujar dia.

Lewat Paskibraka, Laurens ingin membuat ayahnya yang berprofesi sebagai tukang ojek di Tual, Maluku Tenggara, dan ibunya bangga.

Jika saat ini ia berkesempatan untuk berkomunikasi dengan ayahnya, Laurens memiliki pesan spesial. “Saya sayang sama Bapak, Bapak baik-baik di sana.”

Rindu orangtua juga menghinggapi Fifia Alfani Irjouw. Siswi SMA Negeri 1 Wondama, Papua Barat, itu melupakan rindu dengan berusaha larut dalam kegembiraan sekaligus menikmati latihan fisik, meski ia tak suka push-up di aspal.

Fifia selalu mengingat pesan kedua orangtua ketika melepasnya pergi ke Jakarta. “Sebelum berangkat pesannya, disuruh dengar-dengaran. Kalau disuruh sama pelatih, dengar-dengaran. Setiap hari harus mengucap syukur, selalu berdoa,” ujar Fifia.

Pesan orangtua selalu terngiang di telinganya sehingga ia dengan tabah menjalani suka dan duka di karantina.

Usaha ini tidak sia-sia

Bicara soal suka duka, pengalaman Reyvelino Sasiang boleh dibilang paling lengkap. Putra tukang bangunan dari salah satu desa terpencil di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, ini memang ingin menjadi anggota Paskibraka.

Sejak seleksi tingkat sekolah ia sudah bolak-balik ke sekolah untuk berlatih. Saat pelajaran usai, ia hanya pulang sebentar untuk makan, lalu kembali ke sekolah dan berlatih sampai sore.

Meski lolos di tingkat sekolah, Reyvelino sempat nyaris gagal karena dicurangi. Ada peserta lain yang menukar nilainya sehingga Reyvelino dinyatakan tidak lolos seleksi.

“Untungnya ketahuan sama kakak-kakak panitia. Kalau tidak, saya enggak bisa sampai di sini. Tetapi, itu sudah jalan Tuhan,” ujar Reyvelino.

Seleksi di tingkat provinsi pun dilewatinya dengan tidak mudah. Untuk sampai ke Manado, dari kampung halamannya, ia harus menyeberangi lautan sekitar 10 jam.

Rupanya, segala usaha yang dilakukan tidak sia-sia. Hingga kini Reyvelino masih tidak percaya ia lolos seleksi hingga tahap akhir.

“Saya ingin bertemu Bapak Presiden, terus bersalaman dengan dia. Di kampung saya, baru saya yang pergi salaman dengan Presiden,” ujar dia.

Namun, kesedihan melanda Paskibraka asal Jawa Barat, Gloria Natapradja Hamel. Siswi SMA Islam Dian Didaktika Depok itu digugurkan dari kepesertaan Paskibraka 2016, dua hari menjelang upacara bendera 17 Agustus.

Pihak Garnisun Tetap I/Jakarta, pihak yang melatih Paskibraka, mengetahui bahwa Gloria yang masih berusia 16 tahun memegang paspor Perancis. Sang ayah diketahui memang warga negara Perancis. Oleh sebab itu, Gloria dianggap bukan warga negara Indonesia sehingga ia terpaksa digugurkan.

Keputusan itu sempat menyedot emosi publik sebab Gloria “ditikam di ujung”. Gloria lolos seleksi mulai dari tahap sekolah, kota, provinsi, hingga nasional. Namun, cita-citanya pupus di ujung jalan.

Ironisnya lagi, dari dalam hati terdalam Gloria sudah berniat memilih Indonesia sebagai negara yang tertulis di kartu tanda penduduknya kelak, ketika sudah cukup umur.

“Saya sudah ‘confirm’ mau pilih (menjadi warga negara) Indonesia kok,” ujar dia seraya tersenyum.

Namun, Gloria tetap tabah. Bagi dia, tidak ikut Paskibraka bukanlah akhir segalanya.

Sumber: Vik.Kompas.com

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.