Ibrah dari Kisah Nabi Musa AS

Ibrah dari Kisah Nabi Musa AS

Musa adalah seorang rasul dan nabi pilihan Allah yang diutus menghadap kepada kaum Fir’aun, serta diutus membebaskan Bani Israel menghadapi penindasan bangsa Mesir. Musa dikenal sebagai perantara dalam hal pengajaran agama dan pengampunan dosa untuk Bani Israel. Musa bergelar Kalimullah (seseorang yang berbicara dengan Allah). Musa merupakan figur yang paling sering disebut di Al-Quran, yakni sebanyak 136 kali serta termasuk golongan Ulul Azmi.(wikipedia)

Sebelum Musa lahir, seluruh anggota keluarga Ya’qub tinggal sebagai masyarakat pendatang di negeri Mesir. Selama masa kekuasaan nabi Yusuf, Bani Israel dilimpahi banyak kemudahan hidup. Akan tetapi keadaan mulai berubah sepeninggal Yusuf, oleh sebab raja yang menggantikan Yusuf tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman hidup dengan bangsa Bani Israel. Bangsa ini diperbudak oleh Mesir lantaran Fir’aun pada zaman itu merupakan raja yang zalim serta memecah belah rakyatnya melalui tindakan menindas kalangan yang dipandang lemah.

Tatkala Fir’aun mendapati sebuah mimpi yang mengguncangkan; seorang ahli tafsir mimpi memahami makna mimpi tersebut sebagai pertanda buruk bagi kekuasaan Fir’aun; bahwa akan ada seorang anak laki-laki dari Bani Israel yang menjadi seorang laki-laki gagah perkasa yang kelak memimpin golongan pengikutnya melawan kekuasaan Mesir serta membawa berbagai kehancuran hebat di negeri Mesir; juga para pengikut orang tersebut akan mengangkut harta kekayaan yang berlimpah disertai bantuan kekuatan milik musuh Mesir lalu menumpas seluruh kaum pemuka di bangsa Mesir pula.

Fir’aun beserta seluruh pemuka kaumnya merasa ketakutan bahwa penafsiran mimpi itu bermakna bahwa Bani Israel kelak bersekutu dengan musuh Mesir untuk menghancurkan negeri Mesir.Pada saat bersamaan, jumlah lelaki di Bani Israel bertambah pesat sehingga kaum Fir’aun tidak bisa memperkirakan siapakah anak yang diramalkan itu. Maka diadakan sebuah perintah keji di Mesir bahwa seluruh anak laki-laki yang baru lahir harus dibunuh, sedangkan seluruh anak perempuan yang baru lahir boleh dibiarkan hidup.

Namun terdapat seorang bangsawan di istana Fir’aun yang menyarankan supaya tidak berupaya melawan ketetapan tersebut melainkan tunduk menjadi pengikut orang Bani Israel tersebut, agar seisi istana Fir’aun tidak turut dilenyapkan. Walaupun demikian, Fir’aun justru berlaku sombong seraya sewenang-wenang mendakwakan diri sebagai dewa atas bangsa Mesir: “Haruskah dewa sehebat diriku tunduk berpasrah terhadap seorang manusia dari kalangan yang diperbudak oleh kaum kita sendiri?” kemudian Fir’aun membujuk para pengikutnya melaksanakan perintah keji ini.

Mendengar kabar tentang perintah keji Fir’aun, Imran merasa sangat gelisah tentang keselamatan anak yang dikandung Yukhabad, istrinya. Kedua anak Imran; Harun dan Miryam, memberi tanggapan tentang kejadian ini; Miryam sebagai seorang nabiah, mendapati pertanda nubuat bahwa seorang anak laki-laki akan dilahirkan ibunya dan anak itu akan mengalami kejadian hebat dalam perairan, sehingga Miryam menyarankan supaya anak tersebut diletakkan ke sebuah perairan atau sungai oleh sebab Miryam meyakini akan ada keajaiban Allah yang akan menyelamatkan anak itu menghadapi air. Akan tetapi Imran merasa khawatir bahwa nubuat yang disampaikan oleh putrinya itu tidak terwujud.

Harun, yang juga merupakan seorang nabi, menyampaikan saran supaya sang ibu ditempatkan di tempat yang aman, supaya anak tersebut dapat dilahirkan dalam keadaan tenang sementara seluruh anggota keluarga yang lain berpuasa serta berdoa secara bersungguh-sungguh demi keselamatan anak tersebut kemudian berpasrah menyerahkan nasib anak tersebut kepada Allah, oleh sebab Harun meyakini bahwa Allah sanggup menghadirkan sesosok malaikat yang selalu menyertai anak tersebut supaya kembali di tengah-tengah mereka dalam keadaan selamat.

 

Imran merasa tentram ketika mendengar ucapan bijaksana Harun, sehingga Imran menempatkan Yukhabad bersama Miryam di sebuah gua supaya berlindung hingga hari bersalin.
Setelah Yukhabad melahirkan seorang anak laki-laki; tepat sebagaimana pertanda yang telah diperoleh Miryam, ia merasa sangat bahagia sekaligus tak tega apabila harus menyerahkan putranya kepada kaum Fir’aun. Miryam merasa bergembira bahwa pertanda nubuat yang diperoleh merupakan kebenaran lalu Miryam bersegera memberitahu ayahnya dan Harun, supaya berdoa demi keselamatan anak laki-laki ini.

Sementara itu, Yukhabad berada dalam kegelisahan antara menyerahkan sang putra kepada pemuka kaum Fir’aun atau menuruti anjuran Miryam untuk menempatkan sang anak ke dalam wilayah perairan, Yukhabad berdoa seraya menangis untuk menentukan nasib anaknya. Maka Allah mewahyukan kepada Yukhabad,supaya menenangkan diri lalu meletakkan anak tersebut ke dalam sebuah tabut kemudian menempatkan tabut itu menuju sebuah sungai seraya mempercayakan nasib anak tersebut kepada Yang Maha Melindungi. Yukhabad menempatkan sang anak dalam sebuah tabut yang ia temukan lalu melepas tabut itu sambil berdoa supaya Allah selalu menjaga keselamatan anak tersebut agar kembali kepada keluarganya, seraya supaya kelak diperkenan sebagai hamba yang berbakti kepada Allah.

Yukhabad mengakui bukti kebenaran pertanda nubuat Miryam lalu menyuruh gadis itu mengikuti kemana tabut akan menepi.Miryam pun mendapati dari kejauhan sewaktu istri Fir’aun sedang menarik tubuh adiknya dari perairan seraya wanita itu berkata “Musa, Musa.” Miryam menduga hal ini merupakan pertanda buruk sehingga ia khawatir tentang keselamatan Musa. Miryam bersegera mendekat ke tengah kerumunan wanita yang hendak menyusui Musa, supaya memastikan apa yang akan terjadi pada sang adik.

Tatkala Musa tidak mau menerima penyusuan dari siapapun; Miryam menyadari bahwa hal ini merupakan cara Allah untuk mengembalikan Musa ke ibu kandungnya, kemudian Miryam menawarkan bantuan supaya menghadirkan seorang wanita yang sanggup menyusui Musa. Ketika Yukhabad dipertemukan kembali dengan anaknya, perasaan sang ibu menjadi lega dan bersyukur bahwa Allah telah memenuhi janji tentang Musa; sehingga Yukhabad dapat mengasuh Musa, putra kandungnya

Musa dilahirkan di negeri Mesir sewaktu Bani Israel tinggal sebagai bangsa pendatang sejak zaman Nabi Yusuf. Imran dan Yukhabad merupakan kedua orang tua Musa yang berasal dari Suku Lawy. Musa merupakan adik kandung Nabi Harun dan Miryam.

Setiap kisah dalam Al-Quran selalu bisa dijadikan sumber untuk mendapatkan hikmah dan pelajaran atas segala sesuatu. Kisah yang sebagian besar berupa sejarah adalah media pembelajaran yang sangat efektif bagi kita, umat muslim. Dalam hal ini, salah satu kisah yang bisa menginspirasi kita dalam proses membangun organisasi adalah kisah pembelajaran Nabi Khidir kepada Nabi Musa.
Kita tahu Musa adalah anak angkat Firaun, raja tiran yang kisahnya diabadikan pula di Al Qur’an. Musa yang sebenarnya adalah bagian dari Bani Israil, kaum yang terhegemoni oleh Firaun, mendapatkan takdir yang sangat menarik. Ia terdidik di Istana, dibesarkan dengan lingkungan kerajaan yang sedemikian rupa.

Namun akhirnya, ke Bani Israil an nya pun terlihat ketika dia menghardik pegawai Fir’aun hingga mati karena sang pengawal menganiaya seorang Bani Israil. Pada saat inilah, Musa akhirnya keluar dari Istana. Akan tetapi, pembentukan karakter yang telah dilaluinya selama di Asrama menjadikannya memiliki karakter yang kurang baik. Di antaranya adalah agak sombong.
Di situ diceritakan bahwa suatu ketika Musa sedang berpidato di hadapan kaumnya, lalu ditanya seseorang: “Siapakah orang yang paling banyak ilmunya?” Musa langsung menjawab, “Akulah orang yang paling banyak ilmunya.”

Kemudian Allah memerintahkannya untuk kembali ‘belajar’. Pendapat saya: meluruskan pendidikan-pendidikan istana. Bisa diprediksi, pasti caranya cukup radikal. Ya, musa sudah dewasa waktu itu, harusnya karakter diri nya sudah terbentuk, terlampau kokoh untuk diluruskan dengan cara biasa. Maka pertemuan dengan Khidirlah yang dijadikan perintah oleh Allah untuk Musa. Tak sekadar pertemuan. Ini pertemuan yang mengubah! (QS. al-Kahfi, ayat 60-82).

Pembelajaran Khidir kepada Musa adalah untuk menunjukkan kepadanya bagaimana memimpin perlawanan dari kaumnya/Bani Israil terhadap Firaun. Proses pembelajaran Khidir kepada Musa inilah yang bisa kita sarikan untuk membangun Lembaga Dakwah Kampus.

Ada tiga poin utama makna pembelajaran Khidir tersebut. 1. Jaga penampilan “perahu” (organisasi) agar selamat sampai di pelabuhan tujuan, 2. Senantiasa meluruskan niat kader, 3.menyelamatkan warisan yang baik dari pendahulu.

1. Menjaga penampilan “perahu” (organisasi) agar selamat sampai di pelabuhan tujuan,
Suatu organisasi dibangun tentunya memiliki tujuan yang mendasarinya (raison d’etre) .Hal ini sangat penting untuk diketahui setiap pengemban amanah organisasi untuk tetap menjaganya sesuai lajur yang benar. Perjalanan organisasi dari awal terbentuknya hingga diharapkan sampai ke tujuan harus ditempuh dengan jangka yang tidak pendek. Demikian juga rintangan-rintangan yang ada di dalamnya, pasti begitu banyak. Baik itu dari internal maupun eksternal. Maka, dalam hal ini sangat diperlukan sebuah pentahapan yang strategis guna mencapai sasaran. Dengan adanya pentahapan yang strategis tersebut, maka sistematika organisasi (bentuk, mekanisme kerja, pencitraan, dll) bisa disesuaikan dengan tahapan-tahapan yang sudah direncanakan. Karena, ketika kita dalam posisi belum kuat akan tetapi eksternal sudah mengendus kita sebagai sebuah pengganggu, akan sangat mudah bagi kita untuk dihabisi.

Pelajaran ini dapat dikontekstualisasikan dalam bentuk rencana strategis lembaga yang berjangka panjang. Dengan kalkulasi dan analisis baik dari segi internal maupun eksternal, langkah gerak organisasi ini bisa disesuaikan ‘bentuk’nya. Harapannya, tingkat survival dari organisasi ini bisa terjaga hingga tujuannya tercapai. Misal, ketika menghadapi dekanat/rektorat yang sekuler dan cenderung ke arah akademik, gerak lembaga dakwah kampus coba mencitrakan dirinya ke dekanat dengan menonjolkan aspek prestatif dan santun, tidak ekstrem dalam berdakwah. Dengan cara seperti ini, lembaga dakwah mempunyai hubungan yang tidak terlalu buruk dengan dekanat/rektorat, dan untuk urusan pendanaan tidak ada masalah.

2. Luruskan motivasi para “bocah nakal” (kader)
Tidak bisa kita pungkiri, peran sumber daya manusia dalam sebuah organisasi sangatlah penting. Karena visi ataupun ideologi tidak akan mencapai ‘bumi’ ketika tidak ada orang yang membawanya dan mem’bumi’kannya. Dalam konteks dakwah, ketika kita secara sadar berada di dalam barisannya, maka kita adalah da’i. Dan da’i yang pertama adalah bagi diri kita sendiri. Kesadaran untuk senantiasa melakukan perbaikan diri sebelum mengajak orang lain sangat penting untuk ditekankan. Kalau dalam Al-Quran disebutkan “Quu anfusakum waahlikum naron”, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.

Konsep tersebut sudah disarikan dalam Fiqhuddakwah, bahwa prioritas pertama adalah memperbaiki diri kita sendiri. Istilahnya kita bunuh dulu thagut yang ada pad a diri kita, setelah itu kita beranjak untuk membersihkan yang ada di luar kita. Ada juga kata-kata terkenal yang mengatakan bahwa ‘pemimpin adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.”

Pelajaran yang bisa diterapkan ke dalam organisasi adalah dengan adanya sistem ‘penjagaan internal’. Diwujudkan dalam bentuk rapor kader, tatsqif wajib untuk kader, dan forum-forum keluarga. Dengan ikhtiar yang seperti itu, lembaga dakwah diharapkan menjadi tempat untuk ‘menjaga diri’ sekaligus tempat mengekspresikan dakwah secara berjamaah.

Di poin ini, ketegasan seorang pemimpin juga diperlukan. Pemimpin harus memiliki power yang bisa menjaga pembusukan internal, yang pada akhirnya membunuh organisasi sendiri. Perjuangan yang berat, namun harus disadari oleh setiap pemimpin.

3. Bangun dinding yang mau runtuh untuk selamatkan “warisan terpendam” (misi sejarah yang sering terlupakan). Inilah pelajaran untuk seorang pemimpin yang akan membebaskan rakyatnya dari penindasan.
Pelajaran ketiga, yang terakhir dari Khidir, adalah membangun dinding yang mau runtuh tanpa pamrih. Musa tidak mengetahui bahwa di bawah dinding runtuh itu ada harta warisan yang sangat berharga, milik anak yatim.
Penting bagi organisasi untuk bisa menjaga warisan-warisan yang baik untuk kemudian dilanjutkan di generasi sebelumnya. Pengelolaan yang sistematis, evaluasi yang mendalam, dan perhatian yang sangat untuk menyiapkan generasi penerus. Inilah tiga pilar yang harus dipegang erat oleh pemimpin organisasi. Dengan tiga hal ini, generasi penerus kita akan secara baik kita warisi hal-hal apa saja yang diperlukan guna menjalankan roda organisasi dengan lebih baik lagi.

Al-Quran menyebutkan generasi yang gagal adalah yang mewariskan ke generasi berikutnya sebuah generasi yang lemah. Perhatian tentang suksesi ini penting karena di lembaga dakwah kampus, pengurus hanya memiliki kesempatan yang sangat pendek untuk mengabdi. Bahkan ada cerita menarik tentang seorang pemimpin besar, “Apa yang akan kau lakukan jika kau hanya diberi kesempatan untuk memimpin selama satu hari? Sang pemimpin itu menjawab, “saya akan menyiapkan pemimpin berikutnya.”

Jelas, bahwa visi besar ke depan merupakan hal yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Tanpanya, ia tak akan mampu mengarahkan organisasi ini mencapai tujuan besarnya. Dengan visi yang besar dia bisa menyingkirkan gesekan gesekan kecil internal yang tidak produktif. Dengan membawa visi besar, tidak akan mudah konflik remeh terjadi menimpanya.

 

Demikian sedikit kisah “Ibrah dari Kisah Nabi Musa AS.” semoga bermanfaat dan menginspirasi sahabat sekalian.

Ibrah dari Kisah Nabi Musa ASkisah nabi musa
Comments (0)
Add Comment