Prof. Dr. H. Irwan Prayitno, SPsi, MSc atau disapa Datuak IP (lahir di Yogyakarta, Indonesia, 20 Desember 1963; umur 54 tahun) adalah seorang akademisi pendidikan dan politisi Indonesia. Ia memulai jabatan sebagai Gubernur Sumatera Barat periode kedua pada 12 Februari 2016 setelah kembali memenangkan pemilihan Gubernur Sumatera Barat. Sebelumnya, ia duduk di Dewan Perwakilan Rakyat tiga periode sejak 1999 dari Partai Keadilan Sejahtera. Ia dikenal sebagai pendiri Yayasan Pendidikan Adzkia, tetap mengajar dan menunaikan dakwah sepanjang kariernya.
Datang dari keluarga Minangkabau, Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang. Ia mengenal tarbiah dan terjun sebagai aktivis dakwah saat berkampus di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada 1982. Setelah meninggalkan status mahasiswa pada 1988, ia kembali ke Padang mendirikan Yayasan Pendidikan Adzkia. Ia sempat mengambil pekerjaan paruh waktu di bagian HRD (Human Resource Development) berbagai perusahan pemerintah dan dosen psikologi industri. Seiring pengukuhan Partai Keadilan pada 20 Juli 1998, Irwan membentuk dan mengetuai perwakilan PK di Malaysia. PK mengantar Irwan duduk di parlemen hasil pemilihan umum 1999; Irwan terus terpilih untuk dua periode berikutnya. Setelah menyelesaikan pendidikan doktor, ia berbagi tugas sebagai guru besar bidang pengembangan SDM dan tetap berdakwah.
Selaku kepala daerah, ia mendapat sejumlah penghargaan dari negara. Empat tahun kepemimpinan Irwan ditandai dengan sedikitnya 137 penghargaan dari pemerintah yang diraih Sumatera Barat. Selama duduk di parlemen, ia mencurahkan pandangannya dalam penyusunan sejumlah RUU, termasuk penggunaan sumber energi alternatif panas bumi. Ia dicatat karena kemampuan melobi dan pernah menolak permintaan untuk menjadi menteri.
Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang dan mulai berkecimpung di organisasi sejak SMA, menjalani dua kali kepengurusan OSIS pada tahun kedua dan ketiga di SMA Negeri 3 Padang. Selama di SMA, ia selalu dipercayakan sebagai ketua kelas dan meraih juara kelas.Irwan sempat berkeinginan melanjutkan kuliah ke ITB bersama dengan teman-temannya. Namun, karena mempunyai masalah mata, ia mengalihkan pilihan ke Universitas Indonesia. Setelah tamat pada 1982, ia mendaftar ke Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Selama kuliah, selain menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan, ia banyak menghabiskan waktu di luar kampus untuk berdakwah, mengajar di beberapa SMA swasta, dan menjadi konselor di bimbingan belajar Nurul Fikri. Ini mengakibatkan kuliahnya tidak lancar. Menurutnya, hal yang ia cari dalam pendidikan bukanlah nilai semata, tetapi pengembangan diri.
Saat mulai masuk perguruan tinggi, ia aktif dalam diskusi-diskusi dakwah dan perhimpunan mahasiswa. Ia pernah bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta. Selama keterlibatannya dengan HMI, ia merasakan gaya represif pemerintahan Soeharto terhadap pergerakan Islam. Pada 1984, ia naik sebagai Ketua HMI Komisariat Fakultas Psikologi UI. Namun, seiring intervensi pemerintah yang memaksakan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal, HMI mengganti asasnya dengan Pancasila pada tahun 1986 dan bersamaan dengan itu Irwan keluar dari keanggotaan HMI.Ia mengikuti pergerakan Islam dalam skala yang lebih kecil, beralih ke masjid di kampus-kampus lewat kelompok-kelompok tarbiah yang lebih berorientasi pada pembinaan aqidah dan akhlaq.Aktivitas tarbiah berpusat di masjid-masjid kampus seperti Masjid Arif Rahman Hakim, UI; Masjid Salman, ITB; dan Masjid Al-Ghifari, IPB.
Bersama teman-temannya, Irwan bolak-balik mengikuti kegiatan halaqah atau lingkaran dakwah di Masjid Salaman. Pola latihan dimulai dengan pembentukan kelompok kecil dengan bimbingan seorang mentor sebagai penyampai tentang ajaran Islam. Pola ini diperkenalkan oleh sejumlah ustad dan pelajar Indonesia lulusan Timur Tengah, merujuk pada gerakan Ikhwanul Muslimin. Setelah dua kali pertemuan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus, ia terlibat dalam sosialisasi petunjuk perjuangan LDK atau khittah, berkeliling ke kota-kota di Sumatera Barat. Ia berkenalan dan mendapati mubalig muda seperti Mahyeldi Ansharullah, Marfendi, dan Rafdinal yang kelak terlibat dalam kepengurusan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Pada tahun 1985, dalam usia 22 tahun, Irwan menikah dengan Nevi Zuairina, mahasiswi UI yang ditemuinya saat menjalani kuliah semester tiga. Bersama istrinya, Irwan menunaikan dakwah dan aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Ia mengakhiri kuliahnya setelah enam tahun dengan IPK rendah 2,02 karena harus membagi waktunya untuk mencari nafkah. Setamat kuliah, aktivitas dakwah mereka berlanjut dengan mengembangkan kegiatan dakwah di kampus Universitas Andalas dan IKIP Padang (sekarang Universitas Negeri Padang).
Dewan Perwakilan Rakyat
Melalui persinggungannya dengan pergerakan tarbiah, ia menunjukkan perhatiannya dalam politik. Ketika pengukuhan pendirian Partai Keadilan pada 20 Juli 1998, Irwan ditunjuk sebagai Ketua Perwakilan PK di Malaysia. Ia dimintai kesediaan untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif oleh PK mewakili daerah pemilihan Tanah Datar. Hasil pemilihan umum legislatif Indonesia 1999, PK hanya memperoleh 1,4 juta suara atau 1,7% dari total pemilih. PK mendudukkan tujuh kader di DPR, termasuk dirinya. Bersama Partai Amanat Nasional yang mengumpulkan 37 kursi DPR, kedua partai bergabung membentuk Fraksi Reformasi dengan Hatta Rajasa sebagai ketua dan Irwan Prayitno sebagai wakil. Fraksi mengantar nama Irwan sebagai Ketua Komisi VIII. Ia memimpin Komisi VIII yang di antaranya membidangi masalah energi dan sumber daya mineral. Selama berada di DPR, Hatta mengaku fraksi mereka adalah fraksi yang militan. AM Fatwa menyebut Irwan satu-satunya pimpinan komisi di DPR yang tak tergantikan selama lima tahun.
Jelang 1 April 2000, pemerintah hampir memberlakukan kenaikan tarif BBM. Susilo Bambang Yudhoyono yang waktu itu menjabat Menteri Pertambangan, malam hari sebelum pengumuman kenaikan BBM sempat menelepon Irwan, menanyakan tentang kesiapan kenaikan BBM. “Saya katakan, kami di DPR belum siap atas kenaikan itu,” tutur Irwan. Pada hari pengumuman 31 Maret 2000, Presiden Abdurrahman Wahid memutuskan menunda rencana menaikkan harga BBM. Setelah pembahasan dengan DPR, pemerintah resmi memberlakukan kenaikan tarif BBM pada 1 Oktober 2000.
Saat pemerintah terus mengurangi subsidi BBM sejak Oktober 2000, Irwan mengusulkan penggunaan energi panas bumi sebagai energi alternatif dengan memulai pembahasan rancangan undang-undang melaui Komisi VIII. Menurutnya, pemakaian energi panas bumi akan turut membantu pemerintah mendorong kemandirian penyediaan energi, terutama melalui pembangkit listrik. “Penggunaan energi panas bumi memungkinkan pemerintah tidak terbebani oleh mata uang asing seperti halnya penyediaan BBM dan menghindari ketergantungan minyak dalam jangka panjang.” Namun, RUU semula tidak dilirik oleh pemerintah, karena energi panas bumi dianggap mahal. Ia terus melobi eksekutif untuk meloloskan RUU, sampai akhirnya pemerintah mengesahkannya menjadi UU Panas Bumi Nomor 27 tahun 2003. Saat itu, undang-undang ini belum ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah.
Memasuki tahun 2003, pemerintah mengumumkan kenaikkan TDL, tarif telepon, dan BBM secara serentak. Fraksi Reformasi menyatakan desakan pembatalan tiga agenda ini. Irwan bahkan mengancam akan keluar dari DPR bersama enam orang anggota Partai Keadilan lainnya jika kenaikan tarif serentak tetap diberlakukan. “Mengingat masyarakat tidak mampu menanggung beban akibat krisis, maka alternatif pembatalan adalah yang paling tepat,” tutur Irwan.
Dalam wawancara dengan Republika, Irwan menyatakan kekecewaannya atas tanggapan pemerintah yang mengesankan seolah-olah pemberlakukan kenaikan sudah disetujui dewan. “Jangankan menyetujuinya, membahasnya tidak. Kita tak pernah diajak membahas tentang kenaikan harga BBM dan kapan keputusan kenaikan itu bisa diterapkan. Jelas masyarakat dibohongi,” ujarnya.
Meskipun PK tidak menarik anggotanya dari parlemen, pemerintah merespons dengan tidak jadi menaikkan TDL dan tarif telepon.
Terkait ancamannya, Irwan menyebutnya sebagai pembelajaran bagi politisi sekaligus kader. “Apabila kita sudah tidak sanggup lagi untuk menjaga amanah dan aspirasi rakyat sudah tak dapat didengar lagi maka sudah sepantasnyalah kita keluar dari DPR.”[28]
Pada pemilihan umum legislatif April 2004, ia diusung partai yang telah berganti nama PKS sebagai calon anggota legislatif DPR. Daerah pemilihan Sumatera Barat mengirimkan dua wakil ke DPR dari PKS, dirinya dan Refrizal. Pada periode keduanya di DPR, ia kembali mengetuai komisi yang sama sampai 2005 sebelum berpindah komisi dan diangkat sebagai Ketua Komisi X sejak 2007. Setelah memimpin komisi yang membidangi masalah pendidikan, ia berhadapan dengan pemerintah dalam evaluasi pelaksanaan UN. Ia mengkritik pelaksanaan UN bila sebatas syarat penentu kelulusan siswa, berpendapat bahwa hasil UN mestinya bisa digunakan untuk masuk perguruan tinggi. Ia mengusulkan pelaksanaan SPMB untuk menjaring mahasiswa bebas biaya. Irwan pernah berpendapat pelaksanaan penerimaan mahasiswa harus ditangani otonom oleh masing-masing perguruan tinggi.
Dalam pemilihan umum 2009, Irwan dan Refrizal terpilih kembali mewakili Sumatera Barat. Irwan tak menyelesaikan periode ketiganya setelah maju sebagai Gubernur Sumatera Barat; Sidi Hermanto mengisi PAW.