Biografi Singkat Pahlawan Nasional Buya Hamka Ulama Sekaligus Politisi

0

INITU.ID – Beliau terkenal dengan Buya Hamka. Karyanya mulai Tafsir Al Azhar hingga novel yang berjudul dibawah naungan Kabah.

Selain ulama beliau juga seorang sastrawan, budayawan sekaligus politikus yang disegani di Indonesia. Sehingga mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.

Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah, pemilik nama pena Hamka, lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908

Beliau meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun. Buya Hamka selain seorang ulama dan sastrawan Indonesia juga rajin mengisi ceramah melalui RRI kala itu.

Ia melewatkan waktunya sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.

Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar.

Baca juga: Biografi Pahlawan Nasional Mohammad Natsir Perdana Menteri Indonesia 5

Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia. beliau juga banyak melahirkan karya literasi setidaknya ada 94 kumpulan karya Buya Hamka

Buya Hamka merupakan anak sulung dari empat bersaudara dalam keluarga ulama Abdul Karim Amrullah dari istri keduanya Siti Shafiah. Keluarga ayahnya adalah penganut agama yang taat.

Abdul Karim Amrullah yang berjulukan Haji Rasul dikenang sebagai ulama pembaru Islam di Minangkabau dan sangat terkenal dengan keberaniannya untuk tidak memberikan hormat kepada penjajah Jepang Kala itu.

Keluarga ibunya lebih terbuka kepada adat.  Setelah Muhammad Amrullah meninggal, ayah Hamka pindah ke Padangpanjang.

Baca juga: Pengertian, Manfaat Black Garlic Atau Bawang Hitam Untuk Kesehatan

Setelah perkawinannya dengan Sitti Raham, Buya Hamka aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah cabang Minangkabau, yang cikal bakalnya bermula dari perkumpulan Sendi Aman yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1925 di Sungai Batang.Selain itu, beliau juga sempat menjadi pimpinan Tabligh School, sebuah sekolah agama yang didirikan Muhammadiyah pada 1 Januari 1930.

Sejak menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1928, Hamka tidak pernah absen menghadiri kongres-kongres Muhammadiyah berikutnya.

Sekembalinya dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, sampai akhirnya ia diangkat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang.

Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-19 tahun 1930 di Bukittinggi, Hamka berpidato mengupas hubungan adat Minangkabau dan agama Islam. Pada kongres berikutnya di Yogyakarta, Hamka mengemukakan perkembangan Muhammadiyah di Sumatera.

Pimpinan pusat Muhammadiyah mengutusnya untuk membuka cabang Muhammadiyah di Bengkalis. Pada tahun 1932, ia diutus oleh Muhammadiyah ke Makassar dalam rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat rakyat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Makassar.

Baca juga: Batas Waktu Sholat Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, Subuh Dari Ulama Fiqih

Selama di Makassar, ia sempat menerbitkan Al-Mahdi, majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Pada tahun 1934, setahun setelah menghadiri Kongres Muhammadiyah di Semarang, ia diangkat menjadi anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Tengah.

Kariernya di Muhammadiyah kian menanjak sewaktu ia pindah ke Medan. Pada tahun 1942, bersamaan dengan jatuhnya Hindia Belanda ke dalam tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Timur menggantikan H. Mohammad Said.

Namun pada Desember 1945, ia memutuskan kembali ke Minangkabau dan melepaskan jabatan tersebut. Pada tahun berikutnya, ia terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto. Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949.

Pada tahun 1953, ia terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadyiah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto. Sejak saat itu, ia selalu terpilih dalam Muktamar Muhammadiyah selanjutnya, sampai pada tahun 1971 ia memohon agar tidak dipilih kembali karena merasa uzur.

Akan tetapi, ia tetap diangkat sebagai penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.