Islam dan Toleransi.
Islam itu agama yang paling menjunjung toleransi. Jika saat ini yang dikenal masyarakat ialah wajah Islam yang anti-toleran, sungguh itu merupakan penyesatan opini.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Siapa lagi biangnya kalau bukan media yang bersekongkol dengan pihak yang memiliki kepentingan untuk merusak Islam. Dengan tanpa mengindahkan asas cover both side, beberapa media dengan sangat bangganya menyebut Islam itu eksklusif dan anti-toleran.
Mereka menutup mata dan telinga dari fakta sebenarnya yang sudah terekam dalam sejarah emas Islam sejak dahulu sampai zaman sekarang. Lalu, bagaimana kita membuktikan bahwa Islam itu agama yang toleran?
Kalau kita ingin objektif, seharusnya menilik suatu hal dari sumber primer sebagai referensi utama. Seperti itu pula jika ingin mengkaji seperti apa toleransi dalam Islam. Sosok Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in adalah pribadi pemberi contoh paling unggul dan dapat dipercaya dalam segala aspek kehidupan seorang muslim. Di sini akan digambarkan dua pribadi yang telah memberikan contoh dalam hal penerapan toleransi yang benar.
Adalah Rasulullah Muhammad SAW teladan utama dalam hal melakukan toleransi yang proporsional. Logika paling sederhana bisa kita ambil dari salah satu riwayat berikut:
Jabir bin Abdullah RA berkata,
“Suatu jenazah melewati kami, lalu Nabi berdiri karenanya, dan kami pun berdiri. Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, jenazah itu adalah jenazah orang Yahudi.’ Beliau bersabda, ‘Jika kamu melihat jenazah, maka berdirilah!’ (HR Bukhari)
Sebenarnya jika kita berhenti di titik ini saja, sudah bisa kita dapati bahwa beliau sangat menghormati siapa pun karena beliau menyadari pada dasarnya semua manusia adalah ciptaan Allah SWT. Dalam hal ini, beliau tidak membeda-bedakan agama orang tersebut. Apa yang beliau sabdakan di atas adalah untuk seorang Yahudi yang telah meninggal. Bagaimana sikap beliau terhadap orang Yahudi atau Nasrani yang masih hidup? Tentu beliau akan lebih menghargai lagi, bukan?
Sudah terbukti bahwa dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari di Madinah yang juga plural, beliau juga sangat menekankan umat Islam untuk bisa menghormati dan menghargai kepada umat Yahudi atau Nasrani. Belum ditemukan dalam sejarah seorang Muslim pun yang menghina, merusak, atau mengganggu peribadatan non Muslim. Ini menjadi hal yang wajar karena mereka pasti memahami makna firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS Al-An’am: 108)
Sehingga di sini semakin jelas bahwa Rasulullah SAW sudah menggariskan bahwa kita wajib bertoleransi kepada keyakinan orang lain selama mereka tidak melakukan penyerangan terhadap keyakinan kita. Bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Piagam Madinah (Shahifah al-Madinah) mencantumkan tentang Yahudi sebanyak 24 pasal dari total 47 pasal.
Di antara isi piagam ini ada yang mengatur tentang kesepakatan bahwa apabila ada musuh yang menyerang Madinah, maka semua wajib saling membantu mempertahankan negeri Madinah, tanpa melihat apapun agamanya. Masih banyak isi dalam piagam ini yang mencerminkan kehidupan yang harmonis antara Muslim dan non Muslim. Ini menjadi bukti tak terelakkan bahwa beliau sangat berusaha menjaga hubungan baik dengan kalangan di luar Islam.
Sosok selanjutnya yang menarik kita soroti ialah Umar bin Khathab RA. Saat beliau memegang amanah sebagai khalifah, ada sebuah kisah dari banyak teladan beliau tentang toleransi, yaitu saat Islam berhasil membebaskan Jerusalem dari penguasa Byzantium pada Februari 638 M. Tiada kekerasan yang terjadi dalam ‘penaklukan’ ini. Singkat cerita, penguasa Jerusalem saat itu, Patriarch Sophorinus, “menyerahkan kunci” kota dengan begitu saja.
Suatu hari, Umar dan Sophorinus menginspeksi gereja tua bernama Holy Sepulchre. Saat tiba waktu shalat, beliau ditawari Sophronius shalat di dalam gereja itu. Umar menolak seraya berkata, “Jika saya shalat di dalam, orang Islam sesudah saya akan menganggap ini milik mereka hanya karena saya pernah shalat di situ.” Beliau kemudian mengambil batu dan melemparkannya keluar gereja. Di tempat batu itu jatuhlah beliau kemudian shalat. Umar kemudian menjamin bahwa gereja itu tidak akan diambil atau dirusak sampai kapan pun dan tetap terbuka untuk peribadatan umat Kristiani.
Toleransi Umar ini lalu diabadikan dalam sebuah piagam perdamaian yang dinamakan al-‘Uhda al-Umariyyah yang mirip dengan Piagam Madinah. Di bawah kepemimpinan Umar hak dan kewajiban mereka dijamin serta dilindungi. Tak heran jika kemudian sebagai “balas budi”, Sophorinus juga menyatakan jaminannya, “Kami tidak akan mendirikan monastery, gereja, atau tempat pertapaan baru di kota dan pinggiran kota kami;…Kami juga akan menerima musafir Muslim ke rumah kami dan memberi mereka makan dan tempat tinggal untuk tiga malam…Kami tidak akan mengucapkan ucapan selamat yang digunakan Muslim; Kami tidak akan memasang salib … di jalan-jalan atau pasar-pasar milik umat Islam.” (lihat al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk; juga History of al-Tabari: The Caliphate of Umar ibn al-Khathab Trans Yohanan Fiedmann, Albay, 1992, p 191).
Tak hanya Umar RA yang meneruskan sikap toleransi yang diajarkan dalam Islam. Para sahabat yang mulia lainnya banyak yang mengimplementasikannya dalam berbagai sisi kehidupan terutama bermasyarakat (muamalah) seperti jual beli dan transaksi lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sebut saja Abdurrahman bin ‘Auf, seorang sahabat terkemuka, memulai usaha di hari-hari pertamanya saat tiba di Madinah dengan berdagang di pasar Bani Qainuqa’, milik Yahudi (Shahih Bukhari, no. 3780). Ali bin Abu Thalib, menantu Nabi SAW, sebagian persiapan walimahnya ditangani oleh seorang dari Bani Qainuqa’ (Shahih Muslim, no. 5242). Bahkan ternyata Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju perangnya dengan 30 sha’ gandum kepada seorang Yahudi Bani Zhafar bernama Abu Syahm (Ibnu Hajar, Fathul Bari, Jilid tujuh hal. 461).
Lalu, bagaimana dengan model toleransi yang banyak dipromosikan belakangan ini? Sebagaimana mungkin kita ketahui, saat ini tren mengucapkan selamat hari raya agama lain, do’a bersama lintas agama, serta praktik lain yang sebenarnya lebih cocok disebut “sinkretisme agama” daripada toleransi ini banyak digaungkan oleh sebagian kalangan internal “Muslim” sendiri. Sampai saat ini saya pribadi belum menemukan satu pun riwayat bahwa Nabi Muhammad SAW atau generasi terbaik Islam pernah memerintahkan kegiatan tersebut baik secara eksplisit maupun implisit. Para ulama yang masih memegang teguh Al-Qur’an dan Al-Hadits pun nampaknya belum ada yang memfatwakan diperintahkannya hal tersebut. Justru sebaliknya, Nahdlatul Ulama melalui forum Bahtsul Masail al-Diniyah al-Waqi’iyyah Muktamar NU di PP Lirboyo Kediri, 21-27 November 1999, menyatakan bahwa “Do’a Bersama Antar Umat Beragama” hukumnya haram. Di antara dalil yang mendasarinya, yaitu Kitab Mughnil Muhtaj, Juz I hal. 232. (Lebih lanjut ada di hal. 25 Harian Republika 15/12/2011).
Mengenai ucapan selamat atas hari raya umat lain, misalnya “Selamat Hari Natal” PP Muhammadiyah dan MUI sudah memiliki suara yang sama, yaitu melarang hal ini alias diharamkan. Di antara kandungan fatwa dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ialah: “Umat Islam diperbolehkan bergaul dengan umat agama-agama lain dalam masalah keduniaan serta tidak boleh mencampuradukkan agama dengan aqidah dan peribadatan agama lain, seperti meyakini Tuhan lebih dari satu, Tuhan mempunyai anak, dan Isa al-Masih itu anaknya. Orang yang meyakininya dinyatakan kafir dan musyrik. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah SWT, serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan. Dalam konteks ini, perayaan Natal di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkara-perkara aqidah tersebut di atas. Karena itu, mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Demikian pula mengucapkan selamat Natal merupakan bagian langsung dari perkara syubhat yang dianjurkan untuk tidak dilakukan.” (Fatwa-Fatwa Tarjih, Cetakan VI, 2003, hal. 209-210).
Lebih lanjut, di antara keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang termuat dalam Berita Resmi Muhammadiyah, No. 01/2010-2015 Syawal 1431/September 2010, hal. 238, dinyatakan sebagai berikut:
“Muhammadiyah menerima pluralitas agama, tetapi menolak pluralism yang mengarah pada sinkretisme, sintesisme, dan relativisme. Karena itu, umat Islam diajak untuk memahami kemajemukan agama dan keberagamaan dengan mengembangkan tradisi toleransi dan koeksistensi (hidup berdampingan secara damai). Dengan tetap meyakini kebenaran agamanya masing-masing, setiap individu bangsa hendaknya menghindari segala bentuk pemaksaan kehendak, ancaman, dan penyiaran agama yang menimbulkan konflik antar pemeluk agama. Pemerintah diharapkan mampu memelihara dan meningkatkan kehidupan beragama yang sehat untuk memperkuat kemajemukan dan persatuan bangsa.”
Demikian sekilas tentang bagaimana Islam sebenarnya mengatur tentang toleransi. Hendaknya kita berusaha terus mengkaji dan mensosialisakan konsep seperti ini baik kepada sesama Muslim atau kepada non Muslim. Harapannya ialah tiada lagi kesan yang muncul bahwa Islam itu intoleran. Nabi Muhammad SAW sebagai sosok utama dalam Islam tetap sebagai rahmatan lil ‘alamin tanpa mencederai makna toleransi yang sebenarnya.
Sumber: dakwatuna.com