Search
Close this search box.

Pahlawan Asal NTB, Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Majid

Pahlawan baru 2017 Muhammad Zainuddin Abdul Madjid

Pahlawan Asal NTB, Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Majid

Mawlānāsysyāikh Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd (lahir di Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 5 Agustus 1898 – meninggal di Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 21 Oktober 1997 pada umur 99 tahun) adalah seorang ulama karismatis dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat dan merupakan pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi massa Islām terbesar di provinsi tersebut. Di pulau Lombok, Tuan Guru merupakan gelar bagi para pemimpin agama yang bertugas untuk membina, membimbing dan mengayomi umat Islām dalam hal-hal keagamaan dan sosial kemasyarakatan, yang di Jawa identik dengan Kyai.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Seperti Hamka, beliapun memiliki nama singkatan, yaitu Hamzanwadi (Hajji Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd Nahdlatul Wathan Dīniyah Islāmiyah).

Kelahiran

‘Al-Mukarram Mawlānāsysyāikh Tuan Guru Kyai Hajji Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd’ dilahirkan di Kampung Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 17 Rabiul Awwal 1316 Hijriah bertepatan dengan tanggal 5 Agustus 1898 Masehi dari perkawinan Tuan Guru Hajjī Abdul Madjīd (beliau lebih akrab dipanggil dengan sebutan Guru Mu’minah atau Guru Minah) dengan seorang wanita shālihah bernama Hajjah Halīmah al-Sa’dīyyah.[1]

Nama kecil beliau adalah ‘Muhammād Saggāf’, nama ini dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa yang sangat menarik untuk dicermati, yakni tiga hari sebelum dilahirkan, ayahandanya, TGH. Abdul Madjīd, didatangi dua walīyullāh, masing-masing dari Hadhramaũt dan Maghrabī. Kedua walīyullāh itu secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni “Saqqāf”. Beliau berdua berpesan kepada TGH. Abdul Madjīd supaya anaknya yang akan lahir itu diberi nama “Saqqāf”, yang artinya “Atapnya para Wali pada zamannya”. Kata “Saqqāf” di Indonesiakan menjadi “Saggāf” dan untuk dialek bahasa Sasak menjadi “Segep”. Itulah sebabnya beliau sering dipanggil dengan “Gep” oleh ibu beliau, Hajjah Halīmah al-Sa’dīyyah.

Setelah menunaikan ibadah hajjī, nama kecil beliau tersebut diganti dengan ‘Hajjī Muhammād Zainuddīn’. Nama inipun diberikan oleh ayah beliau sendiri yang diambil dari nama seorang ‘ulamā’ besar yang mengajar di Masjīd al-Harām. Akhlāq dan kepribadian ulamā’ besar itu sangat menarik hati ayahandanya. Nama ulamā’ besar itu adalah Syaīkh Muhammād Zainuddīn Serawak, dari Serawak, Malaysia.

Silsilah

Silsilah Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd tidak bisa diungkapkan secara jelas dan runtut, terutama silsilahnya ke atas, karena catatan dan dokumen silsilah keluarga beliau ikut hangus terbakar ketika rumah beliau mengalami musibah kebakaran. Namun, menurut sejumlah kalangan bahwa asal usulnya dari keturunan orang-orang terpandang, yakni dan keturunan sulthān-sulthān Selaparang, sebuah kerajaan Islām yang pernah berkuasa di Pulau Lombok. Disebutkan bahwa Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd merupakan keturunan Kerajaan Selaparang yang ke-17.[2]

Pendapat ini tentu saja paralel dengan analisis yang diajukan oleh seorang antropolog berkebangsaan Swedia bernama Sven Cederroth, yang merujuk pada kegiatan ziarah yang dilakukan Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd ke makam Selaparang pada tahun 1971, sebelum berlangsungnya kegiatan pemilihan umum (Pemilu).[3] Praktik ziarāh semacam ini memang bisa dilakukan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, termasuk masyarakat Sasak, untuk mengidentifikasikan diri dengan leluhurnya. Disamping itu pula, Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd tidak pernah secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap anggapan dan pernyataan-pernyataan yang selama ini beredar tentang silsilah keturunannya, yakni kaitan genetiknya dengan sulthān-sulthān Kerajaan Selaparang.

Keluarga

Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Kakak kandungnya lima orang, yakni Siti Syarbini, Siti Cilah, Hajjah Sawdah, Hajji Muhammād Shabūr dan Hajjah Masyitah.

Ayahandanya TGH. Abdul Madjīd yang terkenal dengan penggilan “Guru Mu’minah”, semasa mudanya bernama Luqmānul Hakīm merupakan seorang muballigh dan terkenal pemberani. Beliau pernah memimpin pertempuran melawan kaum penjajah, sedangkan ibu Maulānāsysyāikh, Hajjah Halīmah al-Sa’dīyyah terkenal sangat shãlihah. Luqmānul Hakīm membawa Maulānāsysyāikh ke Mekkah untuk menimba ilmu agama ketika beliau berusia 9 tahun.

Sejak kecil al-Mukarram Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd terkenal sangat jujur dan cerdas. Karena itu tidaklah mengherankan bila ayah-bundanya memberikan perhatian istimewa dan menumpahkan kasih sayang yang begitu besar kepada beliau. Ketika melawat ke Tanah Suci Mekah untuk melanjutkan studi, ayah-bundanya ikut mengantar ke Tanah Suci. Ayahandanyalah yang mencarikan guru tempat belajar pertama kali di Masjīd al-Harām dan sempat menemaninya di Tanah Suci sampai dua kali musim hajji. Sedangkan ibundanya Hajjah Halīmah al-Sa’dīyyah ikut bermukim di Tanah Suci mendampingi dan mengasuhnya sampai ibunda tercintanya itu berpulang ke rahmātullāh tiga setengah tahun kemudian dan dimakamkan di Ma’lah, Mekkah al-Mukarramah.

Dengan demikian, tampak jelaslah betapa besar perhatian ayah-bundanya terhadap pendidikannya. Hal ini juga tercermin dari sikap ibundanya bahwa setiap kali beliau berangkat untuk menuntut ilmu, ibundanya selalu mendo’ākan dengan ucapan “Mudah mudahan engkau mendapat ‘ilmu yang barakah” sambil berjabat tangan serta terus memperhatikan kepergian beliau sampai tidak terlihat lagi oleh pandangan mata. Pernah suatu ketika, beliau lupa pamit pada ibundanya. Beliau sudah jauh berjalan sampai ke pintu gerbang baru sang ibu melihatnya dan kemudian memanggil beliau untuk kembali, Gep, gep, gep (nama panggilan masa kecil beliau), koq lupa bersalaman?, ucap ibundanya dengan suara yang cukup keras. Akhirnya, beliaupun kembali menemui ibundanya sembari meminta ma’af dan bersalamān. Kemudian, ibundanya berdo’ā’, “Mudah-mudahan anakku mendapatkan ‘ilmu yang barokah”. Setelah itu, barulah beliau berangkat ke sekolah. Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa betapa besar kesadaran ibundanya akan penting dan mustajabnya do’ā ibu untuk sang anak sebagaimana ditegaskan dalam Hadīts Rasūlullāh SAW, bahwa do’ā’ ibu menduduki peringkat kedua setelah do’ā’ Rasūl.

Pendidikan

Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd menuntut ‘ilmu pengetahuan berawal dari pendidikan dalam keluarga, yakni dengan belajar mengaji (membaca Al-Qur’ān) dan berbagai ‘ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh ayahandanya, yang dimulai sejak berusia 5 tahun.

Pendidikan Lokal

Setelah berusia 9 tahun, ia memasuki pendidikan formal yang disebut Sekolah Rakyat Negara, hingga tahun 1919 M. Setelah menamatkan pendidikan formalnya, beliau kemudian diserahkan oleh ayahandanya untuk menuntut ‘ilmu agama yang lebih luas dari beberapa Tuan Guru lokal, antara lain TGH. Syarafuddīn dan TGH. Muhammād Sa’īd dari Pancor serta Tuan Guru ‘Abdullāh bin Amaq Dulajī dari desa Kelayu, Lombok Timur. Ketiga guru agama ini mengajarkan ilmu agama dengan sistem halaqah, yaitu para santri duduk bersila di atas tikar dan mendengarkan guru membaca Kitāb yang sedang dipelajari, kemudian masing-masing murid secara bergantian membaca.

Pendidikan di Mekah

Untuk lebih memperdalam ‘ilmu agama, Muhammād Zainuddīn remaja kembali berangkat menuntut ‘ilmu ke Mekah diantar kedua orang tuanya, tiga orang kemenakan dan beberapa orang keluarga, termasuk pula TGH. Syarafuddīn. Pada saat itu beliau berusia 15 tahun, yaitu menjelang musim Haji tahun 1341 H/1923 M. Sesampai di Tanah Suci, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid langsung mencari rumah kontrakan di Suqullail, Mekah.

Belajar di Masjid al-Haram

Beberapa saat setelah musim haji usai, TGH. Abd. Madjid mulai mencarikan guru buat anaknya. Sampailah pencarian TGH. Abd. Madjid pada sebuah halaqah. Syaikh yang mengajar ditempat tersebut bernama Syaīkh Marzūqī, seorang keturunan ‘Arāb kelahiran Palembang yang sudah lama mengajar mengaji di Masjīd al-Harām, yang saat itu berusia sekitar 50 tahun. Disanalah Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd diserahkan untuk belajar.

Selain itu juga sempat belajar ‘ilmu sastra pada ahli syair terkenal di Mekah, yakni Syaīkh Muhammād Āmīn al-Quthbī dan pada saat itu berkenalan dengan Sayyīd Muhsin Al-Palembanī, seorang keturunan ‘Arāb kelahiran Palembang yang kemudian menjadi guru beliau di Madrasah al-Shaulatiyah.

Ketika ayah TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd pulang ke Lombok, ia langsung berhenti belajar mengaji pada Syaīkh Marzūqī, karena ia merasa tidak banyak mengalami perkembangan yang berarti dalam menuntut ‘ilmu selama ini, hal itu dikarenakan kehausan beliau akan ilmu. Namun, sebelum sempat mencari guru, terjadi perang saudara antara kekuasaan Syarīf Husaīn dengan golongan Wahabi.[4]

Belajar di Madrasah al-Shaulatiyah

Dua tahun setelah terjadinya huru hara tersebut, TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd muda berkenalan dengan seseorang yang bernama Hajji Mawardī dari Jakarta. Dari perkenalannya itu ia diajak untuk belajar di madrasah al-Shaulatiyah, yang saat itu dipimpin oleh Syaīkh Salīm Rahmatullāh. Pada hari pertama masuknya ia bertemu dengan Syaīkh Hasan Muhammād al-Masysyāth.

Madrasah al-Shaulatiyah adalah madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam pendidikan di Arab Saudi. Madrasah ini sangat legendaris, gaungnya telah menggema di seluruh dunia dan telah menghasilkan banyak ulama-ulama besar dunia. TGKH. Muhammad Zainuddin masuk Madrasah al-Shaulatiyah pada tahun 1345 H (1927 M) yang waktu dipimpin (Mudir/Direktur), Syaikh Salim Rahmatullah yang merupakan cucu pendiri Madrasah al-Shaulatiyah. Sudah menjadi tradisi bahwa setiap thullab yang masuk di Madrasah Al-Shaulatiyah harus mengikuti tes masuk untuk menentukan kelas yang cocok bagi thullab. Demikian pula dengan TGKH. Muhammad Zainuddin, juga ditest terlebih dahulu. Secara kebetulan diuji langsung oleh Direktur al-Shaulatiyah sendiri, Syaikh Salim Rahmatullah dan Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath.

Hasil test menentukan di kelas 3. mendengar keputusan itu, TGKH. Muhammad Zainuddin minta diperkenankan masuk kelas 2 dengan alasan ingin mendalami mata pelajaran ilmu Nahwu dan Sharaf. Semula Syaikh Hasan bersikeras agar TGKH. Muhammad Zainuddin masuk kelas 3, tetapi pada akhirnya melunak dan mengabulkan permohonan untuk masuk kelas 2 dan sejak itu TGKH. Muhammad Zainuddin secara resmi masuk Madrasah al-Shaulatiyah mulai dari kelas 2. Prestasi akademiknya sangat istimewa. Beliau berhasil meraih peringkat pertama dan juara umum. Dengan kecerdasan yang luar biasa, TGKH. Muhammad Zainuddin berhasil menyelesaikan studi dalam waktu hanya 6 tahun, padahal normalnya adalah 9 tahun. Dari kelas 2, diloncatkan ke kelas 4, kemubeliaun loncat kelas lagi dari kelas 4 ke kelas 6, kemubeliaun pada tahun-tahun berikutnya naik kelas 7, 8 dan 9.

Sahabat sekelas TGKH. Muhammad Zainuddin bernama Syaikh Zakaria Abdullah Bila, mengakui kejeniusannya dan mengatakan: Syaikh Zainuddin itu adalah manusia ajaib di kelasku, karena kejeniusannya yang tinggi dan luar biasa dan saya sungguh menyadari hal ini. Syaikh Zainuddin adalah saudaraku, dan kawan sekelasku dan saya belum pernah mampu mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam berprestasi pada waktu saya bersama-sama dalam satu kelas di Madrasah Al-Shaulatiyah Mekah.

Predikat istimewa ini disertai pula dengan perlakuan istimewa dari Madrasah Al-Shaulatiyah. Ijazahnya ditulis langsung oleh ahli khat terkenal di Mekah, yaitu Al-Khathath al-Syaikh Dawud al-Rumani atas usul dari direktur Madrasah al-Shaulatiyah. Prestasi istimewa itu memerlukan pengorbanan, ibu yang selalu mendampingi selama belajar di Madrasah al-Shaulatiyah berpulang ke rahmatullah di Mekah. Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menyelesaikan studi di Madrasah al-Shaulatiyah pada tanggal 22 Dzulhijjah 1353 H dengan predikat “mumtaz” (Summa Cumlaude).

Setelah tamat dari Madrasah al-Shaulatiyah, tidak langsung pulang ke Lombok, tetapi bermukim lagi di Mekah selama dua tahun sambil menunggu adiknya yang masih belajar, yaitu Haji Muhammad Faisal/ TGH. Muhammad Faisal (TGH. Muhammad Faisal[1] memimpin pertempuran fisik melawan kompeni Belanda/VOC, beliau ditangkap dalam perundingan dan dibuang keluar daerah dan gugur ditempat pengasingan, nama beliau diabadikan menjadi nama jalan di Mataram). Waktu dua tahun itu dimanfaatkan untuk belajar antara lain belajar ilmu fiqh kepada Syaikh Abdul Hamid Abdullah al-Yamani. Dengan demikian, waktu belajar yang ditempuh selama di Tanah Suci Mekah adalah 13 kali musim haji atau kurang lebih 12 tahun. Ini berarti selama di Mekah sempat mengerjakan ibadah haji sebanyak 13 kali.

Setelah selesai menuntut ilmu di Mekah dan kembali ke tanah air, TGKH. Muhammad Zainuddin langsung melakukan safari dakwah ke berbagai lokasi di pulau Lombok, sehingga dikenal secara luas oleh masyarakat. Pada waktu itu masyarakat menyebutnya ‘Tuan Guru Bajang’. Semula, pada tahun 1934 mendirikan pesantren al-Mujahidin sebagai tempat pemuda-pemuda Sasak mempelajari agama dan selanjutnya pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 mendirikan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan menamatkan santri (murid) pertama kali pada tahun ajaran 1940/1941.

Kepemimpinan

Kesuksesan perjuangan seseorang tokoh atau pemimpin banyak ditentukan oleh pola kepemimpinannya. Kearifan seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya akan menentukan keberhasilan perjuangannya.

Perjuangan dan kepemimpinan merupakan dua hal yang saling mengkait, karena perjuangan itu akan berhasil baik, apabila pola pendekatan yang dipergunakan dalam kepemimpinan itu baik. Di samping itu, kepemimpinan yang arif dan bijaksana akan menghasilkan keberhasilan perjuangan.

Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dikenal sebagai ulama’ besar di Indonesia karena ilmu yang dimiliki sangat luas dan mendalam. Demikian juga kharisma beliau sebagai sosok figur ulama demikian besar. Beliau adalah tokoh panutan yang sangat berpengaruh karena kearifan dan kebijaksanaannya. Perjuangan dan kepemimpinannya senantiasa beliaurahkan untuk kepentingan umat. Penghargaan dan penghormatan yang diberikan kepada seseorang yang telah berjasa kepadanya terutama kepada guru-gurunya diwujudkan dalam bentuk yang dapat memberikan manfaat kepada umat.

Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa penghargaaannya kepada mahaguru yang paling dicintai dan disayangi. Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath diwujudkan dalam bentuk pondok pesantren Hasaniyah NW di Jenggik, Lombok Timur. Penghargaan kepada mahagurunya Maulana Syaikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi diwujudkan dalam bentuk Pondok Pesantren Aminiyah NW di Bonjeruk Lombok Tengah, dan penghargaan kepada Mahagurunya Maulana al-Syaikh Salim Rahmatullah dilakukan dengan mendirikan sebuah Pondok Pesantren di Lombok Timur. Pola kepemimpinan yang beliau contohkan di atas hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki wawasan ilmu yang dalam serta pemimpin yang memiliki kearifan dan kebijaksanaan.

Demikian pula tentang pendekatan yang beliau lakukan selalu bernilai paedagogik dalam arti mengandung nilai-nilai pendidikan. Beliau tidak mau bahkan tidak pernah bersikap sebagai pembesar yang disegani. Belaiu selalu bertindak sebagai pengayom yang berada di tengah-tengah jama’ah dan senantiasa menempatkan diri sesuai dengan keberadaan dan kemampuan mereka. Demikian juga halnya di kala beliau memberikan fatwanya selalu disesuaikan dengan kondisi dan jangkauan alam pikiran murid dan santerinya.

Pembawaan dan sikap hidupnya selalu menunjukkan kesederhanaan. Inilah yang membuat beliau selalu dekat dengan para warganya dan murid-muridnya dengan tidak mengurangi kewibawaan dan kharisma yang beliau miliki. Keluhan yang disampaikan para warga dan muridnya ditampung, didengar, dan dicarikan jalan penyelesaiannya dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan dengan tidak merugikan salah satu pihak.

Untuk melanjutkan dan mengembangkan perjuangan Nahdlatul Wathan di masa datang, beliau sangat mendambakan munculnya kader-kader yang memiliki potensi dan militansi, serta loyalitas yang tinggi, baik dari segi semangat, wawasan, maupun bobot keilmuan. Dalam banyak kesempatan beliau sering menyampaikan keinginannya agar murid dan santrinya memiliki ilmu pengetahuan sepuluh bahkan seratus kali lipat lebih tinggi daripada ilmu pengetahuan yang beliau miliki. Demikian motivasi yang selalu beliau kumandangkan supaya murid dan santrinya lebih tekun dan berpacu dalam menuntut ilmu pengetahuan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Dalam menerima dan menghadapi para murid dan santri serta warga Nahdlatul Wathan, beliau tidak pernah membedakan antara yang satu dengan yang lain. Semua murid dan santeri serta warga Nahdlatul Wathan diberikan perhatian dan kasih saying yang sama besarnya, bagaikan cinta dan kasih saying seorang bapak kepada anak-anaknya.

Yang membedakan murid dan santri dihadapannya adalah kadar keikhlasan dan sumbangsihnya kepada Nahdlatul Wathan. Dan, untuk membina dan memonitor kualitas kader Nahdlatul Wathan, beliau mengeluarakan wasiat dalam bahasa Arab, yang artinya:

Dengan menyebut nama Allah dan dengan memuji-Nya semoga keselamatn tetap tercurah padamu, demikian pula rahmat Allah, keberkatan, ampunan dan ridha-Nya.

Anak-anak yang setia dan murid-muridku yang berakal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu disisiku ialah yang paling banyak bermanfaat untuk perjuangan Nahdlatul Wathan dan sejahat-jahat kamu disisiku ialah yang paling banyak merugikan perjuangan Nahdlatul Wathan.

Karena itu, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga, berjuanglah kemubeliaun berjuanglah di jalan Nahdlatul Wathan untuk mempertinggi citra agama dan negara. Niscaya kamu dengan kekuasaan Allah swt. Tergolong pejuang agama, orang saleh dan mukhlish baik pada waktu sendirian maupun pada waktu bersama orang lain.

Semoga Allah membukakan pintu rahmat untuk kami dan kamu dan semoga ia menganugerahi kami dan kamu serta para simpatisan Nahdlatul Wathan masuk surga dan nikmat tambahan yang tiada taranya, yaitu melihat zat-Nya dari dalam surga.

Demikianlah, wasiat ini dikeluarkan setelah terlihat beberapa kader dari kalangan alumni Madrasah NWDI, dan mereka yang sudah beliau biayai untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi keluar dari garis perjuangan organisasi. Tidak taat pada kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi. Memang dalam rangka kaderisasi beliau banyak memberikan bantuan kepada alumni NWDI dan orang-orang lain untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi dengan nawaitu khusus dan perjanjian khusus pula, yaitu untuk setia membela dan memperjuangkan cita-cita NWDI, NBDI dan NW. Alhamdulillah banyaklah beliauntara mereka yang benar-benar menepati janjinya dengan tulus. Sebaliknya ada juga yang khianat pada janjinya, tidak malu merobek-robek nawaitu pengiriman. Eksistensi dan aplikasi dari wasiat ini menjadi tolok ukur kualitas dan kader ketaatan serta keihklasan kader-kader Nahdlatul Wathan.

Di samping itu, untuk mempertegas Wasiat Renungan Masa I dan II berbahasa Indonesia dalam bentuk puisi. Wasiat Renungan Masa ini berisikan nasihat, fatwa dan pedoman bagi warga Nahdlatul Wathan dalam berjuang.

Lahirnya wasitat-wasiat tersebut merupakan konsekuensi logis dari pola kepemimpinan beliau yang selalu menekankan hubungan guru dan murid. Beliau adalah figur pemimpin yang selalu menekankan agar tetap terjalin dan terpelihara hubungan antara guru dan murid. Menurut prinsip beliau bahwa tidak ada guru yang membuang murid akan tetapi kebanyakan murid yang membuang guru.

Perjuangan

TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid belajar di Tanah Suci Mekah selama 13 tahun kemubeliaun kembali ke Indonesia atas perintah dari guru yang paling beliau kagumi, yakni Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath, pada tahun 1934. Setiba di Pulau Lombok beliau mendirikan Sekembali dari Tanah Suci Mekah ke Indonesia mula-mula beliau mendirikan pesantren al-Mujahidin pada tahun 1934 M. kemubeliaun pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 M. beliau mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Madrasah ini khusus untuk mendidik kaum pria. Kemubeliaun pada tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 H/21 April 1943 M. beliau mendirikan madrasah Nahdlatul Banat Diniah Islamiyah (NBDI) khusus untuk kaum wanita. Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama di Pulau Lombok yang terus berkembang dan merupakan cikal bakal dari semua madrasah yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Wathan. Dan secara khusus nama madrasah tersebut beliaubadikan menjadi nama pondok pesantren ‘Dar al-Nahdlatain Nahdlatul Wathan’. Istilah ‘Nahdlatain’ beliaumbil dari kedua madrasah tersebut. Beliau aktif berdakwah keliling desa di Pulau Lombok dan mengajar.

Pada tahun 1952, madrasah-madrasah cabang NWDI-NBDI yang didirikan oleh para alumni di berbagai daerah telah berjumlah 66 buah. Maka untuk mengkoordinir, membina dan mengembangkan madrasah-madrasah cabang tersebut beserta seluruh amal usahanya, al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan yang bergerak di dalam bidang pendidikan, sosial dan dakwah islamiyah pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1372 H/1 Maret 1953 M. sampai dengan tahun 1997 ini lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh Organisasi Nahdlatul Wathan telah berjumlah 747 buah dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, begitu juga lembaga sosial dan dakwah islamiyah Nahdlatul Wathan berkembang dengan pesat bukan hanya di NTB melainkan juga diberbagai daerah di Indonesia seperti NTT, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Riau, Sulawesi, Kalimantan, bahkan sampai ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan lain sebagainya.

Pada zaman penjajahan, al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga menjadikan madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan, tempat menggembleng patriot-patriot bangsa yang siap bertempur melawan dan mengusir penjajah. Bahkan secara khusus al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bersama guru-guru Madrasah NWDI-NBDI membentuk suatu gerakan yang diberi nama “Gerakan al-Mujahidin”. Gerakan al-Mujahidin ini bergabung dengan gerakan-gerakan rakyat lainnya di Pulau Lombok untuk bersama-sama membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Bangsa Indonesia. Dan pada tanggal 7 Juli 1946, TGH. Muhammad Faizal Abdul Majid adik kandung Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid memimpin penyerbuan tanksi militer NICA di Selong. Namun, dalam penyerbuan ini gugurlah TGH. Muhammad Faisal Abdul Madjid bersama dua orang santri NWDI sebagai Syuhada’ sekaligus sebagai pencipta dan penghias Taman Makam Pahlawan Rinjani Selong, Lombok Timur.

Al Mukkarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sebagai ulama’ pemimpin umat, dalam kehidupan bermasyarakt dan berbangsa telah mengemban berbagai jabatan dan menanamkan berbagai jasa pengabbeliaun, di antaranya :

Pada tahun 1934 mendirikan pesantren al-Mujahidin
Pada tahun 1937 mendirikan Madrasah NWDI
Pada tahun 1943 mendirikan madrasah NBDI
Pada tahun 1945 pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok
Pada tahun 1946 pelopor penggempuran NICA di Selong Lombok Timur
Pada tahun 1947/1948 menjadi Amirul Haji dari Negara Indonesia Timur
Pada tahun 1948/1949 menjadi anggota Delegasi Negara Indonesia Timur ke Arab Saudi
Pada tahun 1950 Konsulat NU Sunda Kecil
Pada tahun 1952 Ketua Badan Penaseha Masyumi Daerah Lombok
Pada tahun 1953 mendirikan Organisasi Nahdlatul Wathan
Pada tahun1953 Ketua Umum PBNW Pertama
Pada tahun 1953 merestui terbentuknya parti NU dan PSII di Lombok
Pada tahun 1954 merestui terbentuknya PERTI Cang Lombok
Pada tahun 1955 menjadi anggota Konstituante RI hasil Pemilu I (1955)
Pada tahun 1964 mendiriakn Akademi Paedagogik NW
Pada tahun 1964 menjadi peserta KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika) di Bandung
Pada Tahun 1965 mendirikan Ma’had Dar al-Qu’an wa al-Hadits al-Majidiyah Asy-Syafi’iyah Nahdlatul Wathan
Pada tahun 1972-1982 sebagai anggota MPR RI hasil pemilu II dan III
Pada tahun 1971-1982 sebagai penasihat Majlis Ulama’ Indonesia (MUI) Pusat
Pada tahun 1974 mendirikan Ma’had li al-Banat
Pada Tahun 1975 Ketua Penasihat Bidang Syara’ Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram (sampai 1997)
Pada tahun 1977 mendirikan Universitas Hamzanwadi
Pada tahun 1977 menjadi Rektor Universitas Hamzanwadi
Pada tahun 1977 mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas Hamzanwadi
Pada tahun 1978 mendirikan STKIP Hamzanwadi
Pada tahun 1978 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Hamzanwadi
Pada tahun 1982 mendirikan Yayasan Pendidikan Hamzanwadi
Pada tahun 1987 mendirikan Universitas Nahdlatul Wathan Mataram
Pada tahun 1987 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Hamzanwadi
Pada tahun 1990 mendirikan Sekolah Tinggi Ilamu Dakwah Hamzanwadi
Pada tahun 1994 mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan putra-putri
Pada tahun 1996 mendirikan Institut Agama Islam Hamzanwadi
Oleh karena jasa-jasa beliau itulah, maka pada tahun 1995 belau beliaunugerahi Piagam Penghargaan dan medali Pejuang Pembangunan oleh pemerintah. Disamping itu, al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selaku seorang mujahid selalu berupaya mengadakan inovasi dalam gerakan perjuangannya untuk meningkatkan kesejahteraan ummat demi kebahagian di dunia maupun di akhirat.

Di antara inovasi/rintisa-rintisan beliau adalah menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran agama Islam di NTB dengan sistem madrasi, membuka lembaga pendidikan khusus untuk wanita, mengadakan ziarah umum Idul Fitri dan Idul Adha dengan mendatangai jamaah di samping didatangi, meyelenggarakan pengajian umum secara bebas, mengadakan gerakan doa dengan berhizib, mengadakan syafa’at al-kubro, menciptakan tariqat, yakni tariqat Hizib Nahdlatul Wathan, membuka sekolah umum disamping sekolah agama (madrasah), menyusun nazam berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia, dan lain-alin.

Sebagai seorang Ulama’ mujahid beliau telah memberikan keteladanan yang terpuji. Seluruh sisi kehidupan beliau, beliau isi dengan perjuangan memajukan agama, nusa dan bangsa. Tegasnya, tiada hari tanpa perjuangan. Itulah yang senantiasa terlihat dan terkesan dari seluruh sisi kehidupan beliau yang patut dicontoh dan diteladani oleh seluruh pengikut dan murid beliau.

Karya

Al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selaku ulama’ pewaris para Nabi, di samping menyampaikn dakwah bi al-hal wa bi al-lisan, juga tergolong penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan kemampuan beliau sebagai pengarang ini tumbuh dan berkembang sejak beliau masih belajar di Madrasah Shaulatiyah Mekah. Namun karena banyaknya dan padatnya kegiatan keagamaan dan keasyarakatan yang harus diisi maka peluang dan kesempatan untuk memperbanyak tulisan tampaknya sangat terbatas. Kendatipun demikian di tengah-tengah keterbatasan waktu itu, beliau masih sempat mengarang beberapa kitab, kumpulan doa, dan lagu-lagu perjuangan dalam bahasa Arab, Indonesia dan Sasak.

Wafat

Tarikh akhir 1997 menjadi masa kelabu Nusa Tenggara Barat. Betapa tidak, hari Selasa, 21 Oktober 1997 M / 18 Jumadil Akhir 1418 H dalam usia 99 tahun menurut kalender Masehi, atau usia 102 tahun menurut Hijriah. Sang ulama karismatis, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 19.53 WITA di kebeliauman beliau di desa Pancor, Lombok Timur. Tiga warisan besar beliau tinggalkan: ribuan ulama, puluhan ribu santri, dan sekitar seribu lebih kelembagaan Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh Indonesia dan mancanegara.

Beliau adalah ulama pewaris para nabi. Beliau sangat berjasa dalam mengubah masyarakat NTB dari keyakinan semula yang mayoritas animisme, dan dinamisme menuju masyarakat NTB yang islami. Buah perjuangan beliau jugalah yang menjadikan Pulau Lombok sehingga dijuluki Pulau Seribu Masjid. Karena di seluruh kampung di Lombok pasti kita temukan masjid untuk tempat ibadah dan acara sosial, baik yang berukuran kecil maupun besar.

Perjuangan beliau dalam menegakkan syiar Islam dan pendidikan di bumi Indonesia tidak boleh terhenti begitu saja, namun harus terus dilanjutkan oleh siapa saja, baik umat muslim Indonesia secara keseluruhan dan masyarakat Sasak pada umumnya, maupun oleh kader-kader Nahdlatul Wathan yang telah dididik melalui lembaga-lembaga pendidikan Nahdlatul Wathan serta seluruh warga Nahdlatul Wathan (abituren, pencinta dan simpatisan) pada khususnya.

Akhirnya, memperhatikan seluruh riwayat kelahiran, pendidikan, dan perjuangan Maulana Syaikh Zainuddin Abdul Madjid baik untuk masyarakatnya dan negaranya, sehingga tokoh-tokoh daerah setempat setuju dan berusaha memperjuangkan Beliau [5] agar beliau bisa diangkat sebagai Pahlawan Nasional dalam bidang Pendidikan dan Gerakan Kepemudaan. Pada hari Kamis, 9 November 2017 bertempat di Istana Negara, beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Empat tokoh yang dianugerahi Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo yakni almarhum Tuan Guru Kiai Haji (TKGH) Muhammad Zainuddin Madjid asal Lombok Nusa Tenggara Barat, almarhumah Laksamana Malahayati asal Aceh, almarhum Sultan Mahmud Riayat Syah asal Kepulauan Riau, dan almarhum Prof. Drs. Lafran Pane asal Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sumber: Wikipedia

 

Terima kasih sudah membaca “Pahlawan Asal NTB, Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Majid”, semoga bermanfaat

Lihat juga berita-berita INITU di Google News, Klik Disini

Share the Post:

Related Posts