dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (EYD: Cipto Mangunkusumo) (Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah, 1886 – Jakarta, 8 Maret 1943) adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara ia dikenal sebagai “Tiga Serangkai” yang banyak menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Ia adalah tokoh dalam Indische Partij, suatu organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun 1913 ia dan kedua rekannya diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan dan aktivitas politiknya, dan baru kembali 1917.
Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama anggota organisasi Insulinde, bernama Marie Vogel pada tahun 1920.
Berbeda dengan kedua rekannya dalam “Tiga Serangkai” yang kemudian mengambil jalur pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad. Karena sikap radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan ke Banda.
Ia wafat pada tahun 1943 dan dimakamkan di TMP Ambarawa.
Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jati diri politik Cipto semakin tampak. Walaupun kongres diadakan untuk memajukan perkembangan yang serasi bagi orang Jawa, namun pada kenyataannya terjadi keretakan antara kaum konservatif dan kaum progesif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan ini sangat ironis mengawali suatu perpecahan ideologi yang terbuka bagi orang Jawa.
Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman Wedyodiningrat. Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Organisasi ini harus menjadi pimpinan bagi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya. Sedangkan Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan yang bersifat Jawa.
Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tetapi yang ia tolak adalah kebudayaan keraton yang feodalis. Cipto mengemukakan bahwa sebelum persoalan kebudayaan dapat dipecahkan, terlebih dahulu diselesaikan masalah politik. Pernyataan-pernyataan Cipto bagi zaman nya dianggap radikal. Gagasan-gagasan Cipto menunjukkan rasionalitas nya yang tinggi, serta analisis yang tajam dengan jangkauan masa depan, belum mendapat tanggapan luas. Untuk membuka jalan bagi timbulnya persatuan di antara seluruh rakyat di Hindia Belanda yang mempunyai nasib sama di bawah kekuasaan asing, ia tidak dapat dicapai dengan menganjurkan kebangkitan kehidupan Jawa. Sumber keterbelakangan rakyat adalah penjajahan dan feodalisme.
Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya mengundurkan diri dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak ada lagi perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan progesif nya.
Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktik dokter di Solo. Meskipun demikian, Cipto tidak meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela kesibukan nya melayani pasien nya, Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi setelah dia bertemu dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische Partij. Cipto melihat Douwes Dekker sebagai kawan seperjuangan. Kerjasama dengan Douwes Dekker telah memberinya kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya, yakni gerakan politik bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Bagi Cipto Indische Partij merupakan upaya mulia mewakili kepentingan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidak memandang suku, golongan, dan agama.
Pada tahun 1912 Cipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar dekat dengan Douwes Dekker. Ia kemudian menjadi anggota redaksi penerbitan harian de Express dan majalah het Tijdschrijft. Perkenalan antara Cipto dan Douwes Dekker yang sehaluan itu sebenarnya telah dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad. Douwes Dekker sering berhubungan dengan murid-murid STOVIA.
Pada November 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Perancis. Peringatan tersebut dirayakan secara besar-besaran, juga di Hindia Belanda. Perayaan tersebut menurut Cipto sebagai suatu penghinaan terhadap rakyat bumi putera yang sedang dijajah. Cipto dan Suwardi Suryaningrat kemudian mendirikan suatu komite perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putra. Dalam komite tersebut Cipto dipercaya untuk menjadi ketuanya. Komite tersebut merencanakan akan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada Ratu Wilhelmina, yang isinya meminta agar pasal pembatasan kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut. Komite Bumi Putra juga membuat selebaran yang bertujuan menyadarkan rakyat bahwa upacara perayaan kemerdekaan Belanda dengan mengerahkan uang dan tenaga rakyat merupakan suatu penghinaan bagi bumi putera.
Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Een Nederlander Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian De Express Cipto menulis artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera.
Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda.
Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa pengaruh yang cukup berarti terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging, pada mulanya adalah perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling memberi informasi tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto, Suwardi dan Douwes Dekker berdampak pada konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep “Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Pengaruh mereka semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal Indische Vereeniging yaitu Hindia Poetra pada 1916.