Pedagang kaki lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang melakukan kegiatan komersial di atas daerah milik jalan (DMJ/trotoar) yang (seharusnya) diperuntukkan untuk pejalan kaki (pedestrian).
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Ada pendapat yang menggunakan istilah PKL untuk pedagang yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga “kaki” (yang sebenarnya adalah tiga roda, atau dua roda dan satu kaki kayu).
Menghubungkan jumlah kaki dan roda dengan istilah kaki lima adalah pendapat yang mengada-ada dan tidak sesuai dengan sejarah. Pedagang bergerobak yang ‘mangkal’ secara statis di trotoar adalah fenomena yang cukup baru (sekitar 1980-an), sebelumnya PKL didominasi oleh pedagang pikulan (penjual cendol, pedagang kerak telor) dan gelaran (seperti tukang obat jalanan).
Ada berbagai ragam versi mengenai asal muasal penamaan Pedagang Kaki Lima. Salah satu yang cukup terkenal adalah pendapat yang menyatakan bahwa penggunaan istilah kaki lima adalah karena mereka menggunakan gerobak yang berkaki tiga, ditambah dengan jumlah kaki dari si pedagang yang berjumlah dua maka disebutlah pedagang tersebut berkaki lima. Namun, hal itu tidak bisa dipercaya secara utuh, mengingat bahwa para PKL yang menggunakan gerobak baru “eksis” sejak masa 1980-an, sementara pada masa sebelum itu sudah ada istilah Pedagang Kaki Lima kepada para pedagang meskipun mereka tidak menggunakan gerobak beroda tiga. Bahkan, keberadaan PKL ini sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda.
Sejak Kolonial Belanda
Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.
Sekian puluh tahun setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima. Padahal jika merunut sejarahnya, seharusnya namanya adalah pedagang lima kaki.
Di beberapa tempat, pedagang kaki lima dipermasalahkan karena mengganggu para pengendara kendaraan bermotor, mengunakan badan jalan dan trotoar. Selain itu ada PKL yang menggunakan sungai dan saluran air terdekat untuk membuang sampah dan air cuci. Sampah dan air sabun dapat lebih merusak sungai yang ada dengan mematikan ikan dan menyebabkan eutrofikasi. Tetapi PKL kerap menyediakan makanan atau barang lain dengan harga yang lebih, bahkan sangat, murah daripada membeli di toko. Modal dan biaya yang dibutuhkan kecil, sehingga kerap mengundang pedagang yang hendak memulai bisnis dengan modal yang kecil atau orang kalangan ekonomi lemah yang biasanya mendirikan bisnisnya di sekitar rumah mereka.
Pedagang Kaki Lima Modern
Saat ini keberadaan pedagang kaki lima menjadi problem tersendiri dalam penataan kota. Selain munculnya bak jamur di keramaian kota dan pasar pasar. Keberadaannya terkadang kontraproduktif. Sehingga penataan pedagang kaki lima masing masing daerah berlomba untuk berinovasi.
Mulai dibuatkan pasar-pasar baru hingga lokasi yang nyaman untuk dikunjungi di sekitar taman bermain. Walaupun belum populer pedagang kaki lima seiraing berjalannya waktu, seharusnya bisa bertransformasi ke berdagang online. Bisa menggunakan sosial media atau aplikasi online.
Dengan istilah baru “Go-Food” setidaknya sudah mulai online-offline bercampur dan memudahkan pertemuan antara pembeli dan penjual.
Demikian “Sejarah Penamaan Pedagang Kaki Lima Sejak Zaman Kolonial”, semoga bermanfaat