Ketahanan Pangan Nasional; Pengertian, Potensi dan Tantangannya

Ketahanan Pangan Nasional; Pengertian, Potensi dan Tantangannya

Ketahanan Pangan Nasional: Potensi dan Tantangannya

Pengertian Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika penghuninya tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan.

Ketahanan pangan merupakan ukuran kelentingan terhadap gangguan pada masa depan atau ketiadaan suplai pangan penting akibat berbagai faktor seperti kekeringan, gangguan perkapalan, kelangkaan bahan bakar, ketidak stabilan ekonomi, peperangan, dan sebagainya. Penilaian ketahanan pangan dibagi menjadi keswadayaan atau keswasembadaan perorangan (self-sufficiency) dan ketergantungan eksternal yang membagi serangkaian faktor risiko.

Meski berbagai negara sangat menginginkan keswadayaan secara perorangan untuk menghindari risiko kegagalan transportasi, namun hal ini sulit dicapai di negara maju karena profesi masyarakat yang sudah sangat beragam dan tingginya biaya produksi bahan pangan jika tidak diindustrialisasikan. 

Baca Juga “Aktifitas Menyenangkan Untuk Ketahanan Pangan Keluarg.”

Kebalikannya, keswadayaan perorangan yang tinggi tanpa perekonomian yang memadai akan membuat suatu negara memiliki kerawanan produksi.

World Health Organization mendefinisikan tiga komponen utama ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan.

Ketersediaan pangan adalah kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar. Akses pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi.

Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat secara proporsional. FAO menambahkan komponen keempat, yaitu kestabilan dari ketiga komponen tersebut dalam kurun waktu yang panjang. (wikipedia)

——————————————————

Baca juga “Tata Cara Ternak Lele Di Rumah, Keuntungan Dan Kerugiannya.”


Secara umum, kebanyakan masyarakat menganggap bahwa permasalahan utama dalam mewujudkan kemandirian pangan di Indonesia saat ini terkait dengan adanya fakta bahwa pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya.

Sementara itu, kapasitas produksi pangan nasional pertumbuhannya melambat bahkan stagnan disebabkan oleh adanya degradasi sumber daya lahan, kerusakan infrastruktur irigasi, serta kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya lahan dan air.

Pada karya tulis ini dikaji beberapa aspek yang menurut opini penulis hal tersebut merupakan faktor-faktor yang cukup mampu memengaruhi pencapaian ketahanan pangan di Indonesia.

1. Sisi Penyediaan Pasokan

Ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan kapasitas produksi nasional tersebut mengakibatkan adanya kecenderungan meningkatnya penyediaan pangan nasional yang berasal dari impor. Dari sisi penyediaan pasokan, paling tidak ada lima hal yang perlu mendapat perhatian.

Pertama, kendala sumber daya alam. Kompetisi pemanfaatan lahan termasuk perairan dan air akan semakin tajam karena adanya sasaran pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan penduduk dalam persentase dan jumlah yang besar.

Pada saat ini angka konversi lahan pertanian yang sering dikemukakan kepada publik oleh para pejabat atau akademisi berkisar antara 60.000 ha sampai 100.000 ha per tahun. Kualitas lahan dan air juga makin terdegradasi karena dampak penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang terus menerus digunakan dalam kurun waktu panjang dan limbah industri yang merembes ke lahan pertanian.

Selain itu, prasarana pertanian yang sudah ada juga sebagian rusak. Sebagai contoh, menurut Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum (2013) sekitar 36 persen atau 2,6 juta ha dari total 7,2 juta ha jaringan irigasi rusak. Kondisi ini saja sudah akan menurunkan kapasitas produksi pangan nasional, karena produksi pangan Indonesia masih berbasis lahan (land base).

Kedua, dampak perubahan iklim global. Dalam tiga tahun terakhir ini, kejadian iklim ekstrem di Indonesia terasa lebih nyata. Masyarakat mengalami kejadian fenomena iklim ekstrem yang frekuensinya makin sering. Pola dan intensitas curah hujan yang berbeda dari sebelumnya, kenaikan temperatur udara, banjir dan kekeringan yang semakin sering terjadi, dan intensitas serangan hama serta penyakit yang semakin tinggi, merupakan beberapa gejala perubahan iklim yang dapat berdampak pada penurunan produktivitas tanaman pangan.

Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian dalam proses usahatani pangan seperti penyesuaian waktu tanam, pola tanam, penggunaan varietas yang lebih tahan terhadap cekaman iklim, dan pengelolaan air secara efisien. Para peneliti di International Rice Research Institute (IRRI) dengan menggunakan data rentang waktu tahun 1979 sampai 2003 menyimpulkan rata-rata tahunan temperature maksimum dan minimum telah meningkat masing-masing sebesar 0,35 dan 1,23 derajat Celsius.

Lebih lanjut para peneliti tersebut berpendapat produktivitas padi dapat menurun 10 persen untuk setiap kenaikan 1 derajat Celcius temperatur minimum di malam hari di musim tanam pada musim kering (Peng et al., 2004). Penelitian pada tanaman padi di Sulawesi Utara menyimpulkan hal serupa, kenaikan suhu udara 1 derajat Celsius dan curah hujan 5 persen, dapat menurunkan produksi padi sekitar 7,7 persen (Hosang et al., 2012). Sementara itu,

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2011) telah melakukan review komprehensif mengenai dampak negative perubahan iklim terhadap produksi berbagai komoditas pertanian melalui beberapa variable, seperti perubahan pola curah hujan, suhu udara, dan kenaikan muka air laut. Hasil review juga menyimpulkan perubahan iklim global mempunyai dampak negatif terhadap produktivitas berbagai tanaman pangan.

Ketiga, pertanian Indonesia dicirikan atau didominasi oleh usahatani skala kecil. Berdasarkan data Sensus Pertanian 2013 dari BPS, jumlah rumah tangga petani sebanyak 26,14 juta dengan rata-rata penguasaan lahan 0,98 ha dan sekitar 56 persen atau 14, 6 juta rumah tangga rata-rata mengusahakan lahan di bawah 0,5 ha.

Sementara itu, rata-rata pengusahaan lahan petani padi sawah kurang dari 0,2 ha (Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas, 2013). Petani kecil ini dihadapkan pada persoalan klasik yang belum berhasil diatasi dengan baik, seperti keterbatasan akses terhadap pasar, permodalan, informasi, dan teknologi (Suswono, 2013). Bila tidak ada rekayasa sosial untuk mengatasi permasalahan tersebut, akan sangat berat bagi Indonesia untuk mencapai ketahanan pangan berkelanjutan.

Baca juga “Pengertian, Jenis Dan Potensi Buah Tropis Indonesia.”

Keempat, adanya ketidakseimbangan produksi pangan antarwilayah. Hampir untuk semua komoditas, proporsi produksi pangan di Jawa lebih dari 50 persen dari produksi pangan nasional.

Ketidakseimbangan ini akan meningkatkan permasalahan upaya pemerataan pangan dan ongkos distribusi pangan, sehingga mempersulit penyediaan pangan secara spasial merata ke seluruh daerah di Indonesia. Bila tidak dilakukan pembangunan infrastuktur dan sistem logistik pangan antarwilayah, akan sulit untuk mengatasi ketidakseimbangan produksi antarwilayah.

Kelima, proporsi kehilangan hasil panen dan pemborosan pangan masih cukup tinggi. Kehilangan pangan (food losses) karena ketidaktepatan penanganan pangan mulai dari saat panen sampai dengan pengolahan dan berlanjut pada pemasaran, dipercayai masih sekitar 10 persen sampai 20 persen, bergantung pada komoditas, musim, dan teknologi yang digunakan. Sementara itu, pemborosan pangan (food waste) yang terjadi mulai dari pasar konsumen akhir sampai dibawa dan disimpan di rumah, lalu disajikan di meja makan namun tidak dimakan, diperkirakan mencapai lebih dari 30 persen.

FAO melaporkan sepertiga dari bagian pangan yang dapat dikonsumsi terbuang percuma atau diboroskan (FAO, 2011b). Demikian juga permasalahan pemborosan pangan di Indonesia cukup besar, seperti banyaknya makanan yang terbuang di restoran, resepsi pernikahan, atau acara rapat/pertemuan, bahan pangan yang terbuang sebelum dimasak, dan makanan yang sudah disajikan di meja makan di rumah namun tidak termakan seluruhnya.

Walaupun sudah lama disadari adanya
kehilangan hasil pangan pada saat penanganan dan distribusinya, namun belum ada program pemerintah yang berhasil mengatasinya secara tuntas. Sementara itu, untuk mengatasi persoalan pemborosan pangan diperlukan pemahaman dan kesadaran akan besarnya nilai ekonomi yang dibuang percuma dari para pelaku pada sistem distribusi dan pemasaran, anggota rumah tangga, maupun aparat pemerintah.

2. Sisi Pemenuhan Kebutuhan

Ada empat tantangan yang dihadapi dari sisi kebutuhan dan pemanfaatan pangan, yaitu terkait dengan peningkatan pendapatan per kapita, peningkatan penduduk dan dinamika karakteristik demografis, perubahan selera karena akses terhadap informasi atau promosi pangan global yang sangat tinggi, dan persaingan pemanfaatan bahan pangan. Penjabaran lebih lanjut dari tantangantantangan dari sisi kebutuhan dan pemanfaatan pangan disajikan berikut ini.

Pertama, adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi beserta dinamika karakteristik demografisnya, di antaranya urbanisasi dan peningkatan proporsi wanita masuk pasar tenaga kerja. Kuantitas atau jumlah kebutuhan pangan setiap tahun akan meningkat selaras dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, yaitu 1,35 persen per tahun. Karena jumlah penduduk yang besar (tahun 2014 sebesar 252 juta jiwa), maka tambahan permintaan pangan per tahun juga akan sangat besar.

Urbanisasi yang merupakan salah satu dinamika kependudukan masih akan terus berlanjut dengan alasan dorongan keluar (push factor) dari sektor pertanian, karena sektor ini tidak dapat menampung angkatan kerja baru atau tidak dapat memenuhi harapan terkait upah yang diterima atau kondisi kerja yang dinilai tidak nyaman.

Selain urbanisasi, perubahan beberapa daerah yang sebelumnyaberciri desa bertransformasi menjadi tempat yang mempunyai karakter kota kecil atau kotasedang akan terus berlangsung seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan otonomi daerah. Kedua faktor ini akan mempercepat peningkatan penduduk kota atau daerah berciri kota.

Pada saat ini penduduk kota sebesar 49,5 persen dan diperkirakan akan terus meningkat menjadi 60 persen pada tahun 2025. Hal ini akan membawa konsekuensi proporsi pola permintaan pangan berciri preferensi penduduk kota menjadi lebih besar. Pola permintaan tersebut pada umumnya akan lebih beragam, lebih memperhatikan kualitas dan keamanan pangan, serta proporsi pengeluaran makanan untuk makanan jadi dan makan di luar rumah yang lebih besar. Partisipasi angkatan kerja wanita juga meningkat.

Menurut data BPS, pada tahun 2010 sebesar 36,4 persen total angkatan kerja adalah wanita. Dari total wanita yang bekerja, sekitar 57,6 persen bekerja di luar sektor pertanian. Dalam 10 tahun ke depan diperkirakan akan semakin besar lagi proporsi wanita yang bekerja. Hal ini akan memperkuat peningkatan permintaan untuk makanan jadi. baik yang dimakan di luar rumah maupun di dalam rumah.

Kedua, pertumbuhan ekonomi 10 tahun terakhir cukup tinggi rata-rata di atas 5 persen per tahun. Dalam 10 tahun mendatang. sasaran pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut akan terus dipertahankan karena memang negeri ini perlu mengejar ketertinggalan pembangunan ekonomi dari negara-negara yang sudah maju.

Pertumbuhan ekonomi tinggi berdampak pada peningkatan pendapatan per kapita atau daya beli masyarakat, walaupun sebarannya tidak merata ke setiap individu. Situasi ini akan meningkatkan permintaan pangan dari sisi kualitas, keragaman, mutu, dan keamanannya. Salah satu upaya untuk menanganinya dan sekaligus memanfaatkan peluang bisnis pangan olahan adalah melalui penguasaan dan penerapan teknologi pangan agar dapat merespon perubahan permintaan pangan, sehingga mampu menyediakan pangan sesuai dinamika permintaan pasar dan preferensi konsumen dengan baik.

Ketiga, pada saat ini sedang berlangsung perubahan selera konsumsi pangan yang mulai meninggalkan pangan lokal dan makanan tradisional. Pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh sumber daya pangan di sekitarnya, daya beli masyarakat, pengetahuan tentang pangan dan gizi, dan selera konsumen. Perubahan selera pangan pada saat ini dibentuk dan dipengaruhi secara kuat oleh perkembangan pesat teknologi informasi media yang dimanfaatkan oleh media promosi/periklanan, termasuk pengiklan yang menjajakan makanan dan minuman yang mencitrakan produknya berlabel tren masa kini, keren, dan global. Imanto (2012) lebih jauh menilai iklan televisi cenderung menawarkan produk yang mencerminkan budaya konsumerisme dan gaya hidup konsumtif.

Dengan semakin tersebarnya jaringan televisi sampai ke pelosok negeri dengan isi iklan pangan bersifat persuasif untuk menarik minat dan selera pemirsa, yang menawarkan pangan bercitra keren dan global, maka pola konsumsi pangan masyarakat secara perlahan akan bergeser ke arah itu. Makanan berciri global yang disediakan di restoran, konsumsi makanan cepat saji, dan makan di luar rumah akan semakin diminati. Sebaliknya, makanan yang berlabel atau diidentikkan dengan makanan tradisional atau lokal secara perlahan akan ditinggalkan konsumen.

Tren ini akan makin berakselerasi dalam 10 tahun ke depan. Pemanfaatan teknologi pangan, teknologi informasi, dan kampanye gerakan cinta pangan lokal Nusantara diharapkan dapat mengimbangi tantangan perubahan selera pangan akibat iklan makanan tersebut.

Keempat, persaingan permintaan atas komoditas pangan untuk konsumsi manusia (food), pakan ternak (feed), bahan baku energy bio (biofuel), dan bahan baku industri nonpangan akan terus berlangsung dan semakin ketat dalam 10 tahun ke depan. Persaingan permintaan ini diturunkan dari peningkatan permintaan untuk produk ternak, semakin tingginya harga energi berbahan baku fosil, dan peningkatan permintaan produk industry yang memanfaatkan bahan pangan dalam proses produksinya. Permasalahan ini harus dapat diantisipasi secara arif melalui peningkatan produksi komoditas pangan yang tinggi dan pelibatan industri pangan.

Sumber : Ahmad Abyan Aushaf

ketahanan pangan
Comments (0)
Add Comment