As’ad Samsul Arifin atau dikenal dengan sebutan Kiai Haji Raden As’ad Samsul Arifin (lahir pada tahun 1897 di Mekah – meninggal 4 Agustus 1990 di Situbondo pada umur 93 tahun) adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah di Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo.[1][2][3] Ia adalah ulama besar sekaligus tokoh dari Nahdlatul Ulama dengan jabatan terakhir sebagai Dewan Penasihat (Musytasar) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama hingga akhir hayatnya.[1][4] Ia adalah penyampai pesan (Isyarah) yang berupa tongkat disertai ayat al-Qur’an dari K.H. Kholil Bangkalan untuk K.H. Hasyim Asy’ari, yang merupakan cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama.[2][4]
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Ia di angkat menjadi Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo, 9 November 2016 sesuai Keputusan Presiden Nomor 90/TK/Tahun 2016
Kiai As’ad adalah anak pertama dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maimunah, keduanya berasal dari Pamekasan, Madura.[1] Ia mempunyai adik bernama Abdurrahman.[2] Ia dilahirkan di perkampungan Syi’ib Ali, dekat Masjidil Haram, Mekah, ketika kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman.[1] Kiai As’ad masih memiliki darah bangsawan dari kedua orang tuanya.[2] Ayahnya, Raden Ibrahim (yang kemudian lebih dikenal dengan nama K.H. Syamsul Arifin) adalah keturunan Sunan Ampel dari jalur sang ayah.[2] Sedangkan dari pihak ibu masih memiliki garis keturunan dari Pangeran Ketandur, cucu Sunan Kudus.[2][6]
Pada usia enam tahun, Kiai As’ad dibawa orang tuanya pulang ke Pamekasan dan tinggal di Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan, Madura.[1][2][6] Sedangkan adiknya, Abdurrahman, yang masih berusia empat tahun dititipkan kepada Nyai Salhah, saudara sepupu ibunya yang masih bermukim di Mekah.[1][2] Setelah lima tahun tinggal di Pamekasan, Kiai As’ad diajak ayahnya untuk pindah ke Asembagus, Situbondo, yang pada saat itu masih berupa hutan belantara yang terkenal angker dan dihuni oleh banyak binatang buas dan makhluk halus..[1][3] Kiai As’ad diajak ayahnya pindah ke pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam di sana
Sebagai anak seorang ulama, sejak kecil Kiai As’ad sudah mendapat pendidikan agama yang diajarkan langsung oleh ayahnya.[1] Setelah beranjak remaja, ia dikirim ayahnya untuk belajar di Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan, sebuah pesantren tua yang didirikan oleh K.H. Itsbat Hasan pada tahun 1785[1] Di Pondok Pesantren tersebut, Kiai As’ad diasuh oleh K.H. Abdul Majid dan K.H. Abdul Hamid, keturunan dari K.H. Itsbat.[1]
Setelah tiga tahun belajar di Pesantren Banyuanyar (1910-1913), ia kemudian dikirimkan ayahnya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan belajarnya di sana.[1] Di Mekah, ia masuk ke Madrasah Shalatiyah, sebuah madrasah yang sebagian besar murid dan guru-gurunya berasal dari al-Jawi (Melayu).[1] Ia belajar ilmu-ilmu keislaman kepada ulama-ulama terkenal, baik yang berasal dari al-Jawi (Melayu) maupun dari Timur Tengah.[1]
Di antara guru-guru Kiai As’ad ketika belajar di Mekah antara lain:[1]
- Syeikh Abbas al-Maliki
- Syeikh Hasan al-Yamani
- Syeikh Muhammad Amin al-Quthbi
- Syeikh Hasan al-Massad
- Syeikh Bakir (K.H. Bakir asal Yogyakarta)
- Syeikh Syarif as-Sinqithi
Setelah beberapa tahun belajar di Mekah, Kiai As’ad kemudian pulang ke Indonesia.[1] Setelah sampai di kampungnya, ia tidak langsung mengajar di pesantren ayahnya, Kiai As’ad memutuskan untuk memperdalam ilmunya dan melanjutkan belajarnya.[1] Ia pergi ke berbagai pesantren dan singgah dari pesantren satu ke pesantren lain, baik untuk belajar maupun hanya untuk ngalaf barakah (mengharap berkah) dari para kiai
Pada tahun 1908, setelah pindah ke Situbondo, Kiai As’ad dan ayahnya beserta para santri yang ikut datang dari Madura membabat alas (menebang hutan) di Dusun Sukorejo untuk didirikan pesantren dan perkampungan.[2][3] Pemilihan tempat tersebut atas saran dua ulama terkemuka asal Semarang, Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah.[2]
Usaha Kiai As’ad dan ayahnya tersebut akhirnya terwujud.[3] Sebuah pesantren kecil yang hanya terdiri dari beberapa gubuk kecil, mushala, dan asrama santri yang saat itu masih dihuni beberapa orang saja.[3]
Sejak tahun 1914, pesantren tersebut berkembang bersamaan dengan datangnya para santri dari berbagai daerah sekitar.[3] Pesantren tersebutlah yang akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah.[3]
Setelah K.H. Samsul Arifin meninggal pada tahun 1951, pondok pesantren tersebut ganti diasuh oleh Kiai As’ad.[1] Di bawah kepemimpinan Kiai As’ad, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah berkembang semakin pesat, dengan bertambahnya santri hingga mencapai ribuan.[1] Kemudian, lembaga pendidikan dari pesantren tersebut akhirnya semakin diperluas, tanpa meninggalkan sistem lama yang menunjukkan ciri khas pesantren.[1] Pesantren tersebut mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, kemudian didirikan pula sekolah umum seperti SMP, SMA, dan SMEA.[1]
sumber : wikipedia