Pada 1931, Mahmoed Joenoes pulang dengan mengantongi ijazah magister dari Universitas Al-Azhar, Mesir. Ia kemudian membesarkan sekolah-madrasah bernama Madras School di tanah kelahirannya, Sumatera Barat, kendati akhirnya ditutup paksa pemerintah kolonial dua tahun berselang.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Mahmoed tak patah arang. Ia lantas memimpin sekolah untuk mendidik calon guru, Normal Islam School (NIS) atau Kulliyyatul Muallimin Al-Islamiyyaah, di Padang. Di sekolah ini, Mahmoed memasukkan mata pelajaran agama Islam ke dalam kurikulum. Ia adalah orang Indonesia pertama yang melakukannya sepanjang sejarah pendidikan nasional.
Kelak, pada 1950 atau setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda, Mahmoed mengusulkan hal serupa kepada pemerintah Indonesia, yakni agar mata pelajaran agama Islam dimasukkan ke kurikulum pendidikan nasional. Usul Mahmoed ternyata mendapat respons positif dan diterima.
Itulah peran besar Mahmoed Joenoes, selain banyak gebrakan lainnya demi memajukan pendidikan nasional. Wafat di Jakarta pada 16 Januari 1982 atau genap 36 tahun lalu, seharusnya nama Mahmoed Joenoes bisa disejajarkan dengan Ki Hadjar Dewantara dan para begawan pendidikan lain.
Cemerlang Sejak Belia
Mahmoed Joenoes (ejaan baru: Mahmud Yunus), seperti diungkap Herry Mohammad dalam Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (2006), lahir di Sungayang, kini termasuk wilayah Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, pada 10 Februari 1899 (hlm. 85). Bakat jeniusnya sudah tampak sedari dini. Buktinya, saat baru berusia 14 tahun, ia sudah dipercaya menjadi guru bantu di Madras School.
Madras School dipimpin ulama besar yang terkenal inovatif, Muhammad Thaib Umar. Menurut Yulizal Yunus dan kawan-kawan dalam Beberapa Ulama di Sumatera Barat (2008), guru Mahmoed Joenoes ini adalah pelopor penggunaan bahasa Indonesia dalam khotbah salat Jumat dan khotbah salat hari raya yang sebelumnya selalu memakai bahasa Arab (hlm. 164).
Mahmoed dipercaya menggantikannya untuk memimpin Madras School saat Thaib Umar jatuh sakit pada 1917. Kala itu, umurnya baru 18 tahun. Mahmoed juga selalu mewakili gurunya dalam acara-acara penting, termasuk Rapat Besar Ulama Minangkabau pada 1919 yang melahirkan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI).
Baca juga: Pendidikan Tanpa Sekolah ala Agus Salim
Semangat muda Mahmoed memang tengah bergelora. Ia merintis perkumpulan pelajar Islam Sumatera Thawalib cabang Sungayang. Seperti dituturkan Gouzali Saydam dalam 55 Tokoh Indonesia Asal Minangkabau di Pentas Nasional (2009), Mahmoed eksis pula lewat tulisan dengan menerbitkan majalah al-Baysir sejak Februari 1920 (hlm. 161). Kelak, ia juga terlibat dalam penerbitan media-media lainnya termasuk al-Munir, al-Manar, dan al-Bayan.
Mahmoed bertekad melanjutkan studi ke Al-Azhar, Mesir. Dalam buku Riwayat Hidup Prof. Dr. H. Mahmud Yunus (1982) dikisahkan, niat tersebut sempat nyaris gagal karena terkendala masalah visa. Beruntung, pada Maret 1923, Mahmoed bisa berangkat meski harus melalui Penang, Malaysia (hlm. 21).
Maestro Pengajaran Islam
Mahmoed Joenoes menunaikan ibadah haji sebelum sampai Kairo. Selepas itu, pada usia 24, ia menjadi mahasiswa Al-Azhar. Dalam Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra 1927-1933 (2009), Taufik Abdullah menyebut, hanya butuh setahun bagi Mahmoed untuk mendapatkan ijazah Syahadah Alimiyah yang setara dengan magister (hlm. 28). Ia adalah salah satu orang Indonesia pertama yang lulus dari Al-Azhar.
Setelah lulus, Mahmoed tetap di Mesir, meneruskan studi di Darul Ulum (kini menjadi bagian dari Universitas Kairo) untuk memperdalam ilmu kependidikannya. Ia baru pulang ke tanah air pada Oktober 1930.
Tiba di kampung halaman pada awal 1931, Mahmoed kembali ke Madras School untuk mengembangkan sekolah yang membesarkan namanya itu. Di sana, seperti dijelaskan Rosnani Hashim dalam Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago (2010), Mahmoed menerapkan konsep yang lebih modern, termasuk mengenalkan pembagian jenjang untuk madrasah, yakni Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah (hlm. 181).
Sayangnya, Madras School harus tutup pada 1933 karena kebijakan Ordonansi Sekolah Liar (Wildeschoolen Ordonantie) yang mewajibkan tiap sekolah memiliki izin resmi dari pemerintah kolonial. Sementara di Jawa, Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa-nya menentang kebijakan tersebut.
Baca juga: Gaya Radikal Ki Hadjar Dewantara
Mahmoed Joenoes lantas memimpin Normal Islam School (NIS) atau Kulliyyatul Muallimin Al-Islamiyyaah, sekolah pendidikan guru yang dibentuk PGAI pada 1931. Di sekolah yang bertempat di Padang inilah Mahmoed memasukkan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dalam kurikulumnya. Itu untuk pertama kalinya diberlakukan di Hindia Belanda.
Ismail Suardi Wekke & Mat Busri dalam Kepemimpinan Transformatif Pendidikan Islam (2016) menuliskan, NIS terbilang sekolah modern saat itu, dari kurikulumnya maupun didaktik dan metodiknya, di samping pula bangunannya (hlm. 72). Bahkan, NIS satu-satunya sekolah yang memiliki laboratorium fisika dan kimia di Sumatera Barat. Peran Mahmoed dengan seabrek ilmu barunya dari Mesir berperan besar dalam hal ini.
Tahun 1938, Mahmoed Joenoes undur diri dari NIS. Empat tahun kemudian, ia kembali memimpin sekolah itu hingga setelah Indonesia merdeka. Dari NIS, Mahmoed bersama-sama orang-orang PGAI lainnya turut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Padang dan ditunjuk sebagai ketuanya sejak 1 November 1940.
Saat itu, seperti dikutip dari buku Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (2016) karya Sofyan Rofi, Mahmoed Joenoes menyatakan bahwa STI adalah perguruan tinggi pertama di Sumatera Barat, bahkan di Indonesia (hlm. 89). Namun, eksistensi STI hanya sebentar karena ditutup paksa oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Dedikasi Besar Tanpa Ketenaran
Kiprah Mahmoed Joenoes masih berlanjut di zaman Jepang kendati STI tidak beroperasi lagi. Ia kemudian turut membidani berdirinya Majelis Islam Tinggi (MIT) Minangkabau.
Dalam Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara (2004), Fauzan Asy mencatat bahwa pada 1943, Mahmoed, sebagai perwakilan MIT, mengusulkan kepada pemerintah pendudukan Jepang agar mata pelajaran agama Islam dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan (hlm. 179). Ternyata, upayanya membuahkan hasil.
Sumber: TirtoID