Search
Close this search box.

Sejarah Masjid Menara Kudus, Batu Pertama Diambil dari Palestina

Sejarah Masjid Menara Kudus, Batu Pertama Diambil dari Palestina
Sejarah Masjid Menara Kudus, Batu Pertama Diambil dari Palestina

Bangunan Arsitektur Masjid Menara Kudus yang bertempat di Kelurahan Kauman, Kecamatan Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, telah menjadi saksi “perjuangan dakwah” bagaiamana membangun kerukunan antar umat beragama.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Masjid unik ini didirikan oleh Sunan Kudus atau Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan pada tahun 956 Hijriah atau 1549 Masehi. Hal ini berdasar pada inskripsi berbahasa Arab yang tertulis di prasasti batu berukuran lebar 30 cm dan panjang 46 cm yang terletak pada mihrab masjid.

Konon, prasasti batu itu didatangkan dari Baitul Maqdis di Palestina sehingga masjid ini kerap pula disebut Masjid Al Aqsa.

Sunan Kudus merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam yang tergabung dalam Wali Songo. Dia dikenal sebagai seorang ahli agama, terutama dalam disiplin ilmu tauhid, hadis, dan fikih. Dari sembilan wali yang diakui di Tanah Jawa, hanya beliau yang disebut bergelar ‘Waliyyul Ilmi’, gelar untuk wali yang berpengetahuan luas.

Nilai toleransi Masjid Menara Kudus terlihat berbeda dengan penampakan masjid pada umumnya. Yang paling mencolok adalah bangunan menara yang berdiri menjulang di sebelah tenggara masjid. Menara berkonstruksi susunan batubata merah itu bentuknya menyerupai bangunan candi khas Jawa Timur. Bahkan ada yang menyebut menara itu mirip dengan Bale Kulkul atau bangunan penyimpan kentongan di Bali. Yang identik dengan salah penganut agama Hindu

Ciri khas inilah yang menjadi keunikan tersendiri dari Masjid Menara Kudus. Ternyata, di balik karakteristik Masjid Menara Kudus tersirat makna perwujudan sikap “tepa selira” atau tenggang rasa pada masa itu. Bagaimana menjaga perasaan antar sesama manusia.

Dakwah Sunan Kudus

Dalam berdakwah, Sunan Kudus lebih menekankan pada kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat dan berusaha menyesuaikan diri demi memasuki masa kejayaan Hindu-Budha. Denny Nur Hakim, Staf Dokumentasi dan Sejarah Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) mengatakan, kesohoran Sunan Kudus terletak pada kepiawaiannya dalam melakukan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang sudah punya budaya mapan.

“Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Kudus membaur dan melakukan pendekatan budaya. Islam mengajarkan santun dan saling menghormati,” katanya seperti dikutip dari Kompas.com, Rabu (30/5/2018).

Salah satu nilai toleransi yang diajarkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya, yakni dengan melarang menyembelih sapi untuk dikonsumsi. Tak hanya itu, sapi juga ditempatkan di halaman masjid ketika itu. Langkah itu diharapkan bisa diikuti oleh seluruh pengikut Sunan Kudus lantaran sapi dianggap sebagai binatang suci bagi umat Hindu.

“Kebiasaan itu berlangsung hingga saat ini di Kudus. Masyarakat Kudus lebih memilih menyantap daging kerbau,” ujar Denny. Menara tak pernah dirombak Menara di masjid ini memiliki tinggi sekitar 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 meter x 10 meter.

Bangunan menara berhiaskan piring-piring bergambar yang berjumlah 32 buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sisanya, 12 piring berwarna merah putih berlukiskan bunga. Di dalam menara menjulur tangga yang terbuat dari kayu jati.

“Menara Kudus menunjukkan arsitektur kebudayaan Hindu Jawa. Bangunannya terdiri dari tiga bagian berupa kaki, badan dan puncak bangunan khas Jawa-Hindu. Menara ini dihiasi pula antefiks atau hiasan yang menyerupai bukit kecil.

Ciri konstruksi tradisional Jawa lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen. Pada bagian puncak atap tajug terdapat semacam mustika seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa,” tutur Denny.

Masjid Menara Kudus kini berdiri di atas lahan seluas 7.505 meter persegi. Saat masjid dirombak sekitar abad 20 atau tahun 1918, menara tak termasuk di dalamnya. “Namun menara tak pernah dirombak, tetap utuh sejak awal dan dilestarikan,” ujar Denny.

Di dalam masjid terdapat sejumlah tiang penyangga yang terbuat dari kayu jati. Adopsi budaya Jawa-Hindu terlihat pada regol berbentuk dua gapura bentar yang dipasang di serambi dan di dalam masjid. Video Pilihan Menara Kudus, Masjid dengan Perpaduan Budaya Islam dan Hindu Di kompleks masjid ada delapan pancuran untuk wudhu.

Di atas pancuran itu diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni “Delapan Jalan Kebenaran” atau Asta Sanghika Marga.

Di belakang masjid, terdapat kompleks makam. Selain makam Sunan Kudus, ada juga makam ulama dan tokoh di antaranya Panembahan Palembang, Pangeran Pedamaran, dan Panembahan Condro.

 

“Masjid Menara Kudus merupakan bukti nyata bentuk toleransi antar umat beragama. Sunan Kudus membangun masjid dan menara hasil akulturasi budaya Islam dan Hindu. Bisa jadi lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus waktu itu,” pungkasnya.

Penyebaran Islam di Jawa memiliki ciri khas yang menarik. Tanpa kekerasan justru banyak akulturasi budaya yang akhirnya bisa diterima oleh masyarakat. Seperti yang sudah dilakukan sebagian besar Wali Songo yang ada di Indonesia

 

Sumber Kompas

Lihat juga berita-berita INITU di Google News, Klik Disini

Share the Post:

Related Posts