Sejarah Indonesia pada 1948 ditandai dengan adanya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun. Didahului gerakan revolusioner yang disebut formal fase nonparlementer, yakni pengambilalihan kekuasaan dari pemerintah yang sah.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!
Kepanjangan G30S/PKI
Gerakan 30 September (dalam dokumen pemerintah tertulis Gerakan 30 September/PKI, disingkat G30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 ketika tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha kudeta.
Peristiwanya terjadi pada 18 September 1948. Dipimpin Amir Syarifuddin dan Muso. Usaha kudeta itu disertai pula penculikan dan penganiayaan serta pembunuhan sejumlah penduduk sipil, polisi, dan ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Aksi sepihak oleh PKI dalam bentuk kekerasan ternyata masih berlanjut dan muncul ke permukaan sejak 1960. Meletusnya Gerakan 30 September 1965 seakan menjadi antiklimaks. Disusul gerakan sporadis hingga 1968-an. Kekerasan oleh PKI di Indonesia menorehkan sejarah panjang pelanggaran hak asasi manusia karena terjadi aksi-reaksi antarkelompok di masyarakat dan dengan jumlah korban tak sedikit.
Kebijakan sistematis oleh PKI sekaligus merupakan kelengahan pemerintah. Untuk itu, perlu dicermati guna pengayaan pengetahuan mengenai fakta historis pelanggaran hak asasi manusia. Dengan pengetahuan itu, terbuka bagi upaya perlindungan hak asasi manusia ke depan, dan bukan tidak mungkin membuka akses projustisia.
Pengkajian ini bagian dari penguatan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (1998-2003) yang berisi konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukum lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Dalam ketentuan umum UU No 39 Tahun 1999, pasal 1 ayat 7, disebutkan bahwa salah satu fungsi lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai lembaga mandiri adalah melaksanakan pengkajian dan penelitian di samping penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
Ruang lingkup pengkajian dalam studi ini adalah segala bentuk tindak kekerasan oleh PKI meliputi peristiwa 1948, 1965, dan 1967 menyangkut tempat, waktu kejadian, korban, bentuk, dan cara kekerasan. Pengkajian ini tidak bersifat projustisia karena kejadiannya sudah terlalu jauh, yakni lebih dari 40 tahun dari sekarang. Para pelakunya sudah hampir tidak mungkin dilakukan tuntutan hukum. Sementara, para saksi yang masih hidup sudah berusia lanjut.
Penghimpunan data melalui dua sumber, yakni sumber primer, di mana data diperoleh melalui wawancara dengan saksi yang masih hidup. Sumber sekunder berupa informasi melalui buku, catatan, dokumen, dan naskah tertentu berisi pengayaan informasi dan verifikasi kejadian di sekitar gerakan atau aksi oleh PKI.
Tragedi G30S/PKI dengan segala eksesnya pada 1965 tidak perlu diungkap dalam kesempatan ini karena sudah banyak terekspose di buku-buku sejarah dan media massa. Penangkapan beberapa kasus yang lain kita mulai dari apa yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sejak 1960-an, daerah Jawa Tengah dikenal menjadi basis PKI, terutama di Solo, Kartosusuro, Boyolali, dan Klaten. Banyak aksi sepihak yang ditujukan kepada lawan politk, tokoh agama, dan orang-orang sipil tak berdosa. Di antaranya, penculikan dan penghilangan paksa empat orang di Klaten dan hingga kini tidak ketahuan kuburannya.
Pada kasus lain, sebanyak 16 orang, orang-orang PKI secara tiba-tiba menyekap sambil mengacungkan arit (sabit). Kawan-kawannya yang tidak bisa lolos menjadi sasaran kekerasan massa PKI. Mereka yang dibacok dan dibabat ada tujuh orang, ada yang dibacok bagian kepala, tangan, dan bahu. Pembunuhan juga menimpa Basuni di Jatinom dan Miftah penduduk Laweyan Sala.
Beralih ke ‘peristiwa Kanigoro’, di Kanigoro, Kediri, Jawa Timur. Tempat dilangsungkannya acara mental-training oleh Pelajar Islam Indonesia (PII). Saat itu, pada 13 Januari 1965, di tengah acara, anggota PKI melakukan penggerebekan di pagi hari setelah peserta melaksanakan shalat Subuh. Saat itu, orang-orang PKI serta-merta datang dan serempak menyerbu lokasi mental-training.
Mereka mengambil buku-buku, termasuk Alquran di masjid, lalu dinjak-injak. Para peserta, termasuk panitia, 150-an orang, digiring dengan tangan diikat satu sama lain, dipaksa berjalan empat km sambil diintimadasi, diancam, serta diteror.
Peristiwa “Cemethuk” Banyuwangi, informasi didapat kesaksian Maedori, saksi mata yang berhasil meloloskan diri dari usaha pembunuhan oleh PKI, kemudian memberikan kesaksian mengenai peristiwa “Cemethuk” Banyuwangi. Aksi PKI di Banyuwangi berkaitan langung dengan G30S/PKI di Jakarta.
Mereka diberi makanan yang sudah dicampuri racun, kemudian satu per satu dibunuh, dan mayatnya dimasukkan ke sumur yang sudah disiapkan. Ada tiga lubang pembantaian. Satu lubang besar berisi 40 mayat dan dua lainnya masing-masing 11 mayat.
Pembantaian di Blitar Selatan atas pengungkapan di buku Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai tulisan Soegiarso Soerojo, di halaman 331-332. Di antaranya mengungkapkan kasus kekejaman PKI, seperti di Rejotangan, Ngunut, Kaliwadi, dan Bojolangu. Mereka melakukan praktik intimidasi terhadap rakyat dan merampok harta kekayaan penduduk, membunuh orang tak berdosa, dengan sasaran utama golongan beragama.
Menculik setiap orang yang mereka curigai. Bila ternyata lawan, mereka tak segan-segan membunuhnya. Praktik kejam ini dipimpin Sugita dan Sutrisno, keduanya anggota CGMI.
Kasus pembantaian di Kediri diungkap berdasar kesaksian Ibu Yatinah (69 tahun), anak kandung korban bernama Sarman. Peristiwanya terjadi pada 18 September 1948 sewaktu menghadiri rapat pamong di kelurahan, tiba-tiba ia dicegat segerombolan orang. Kemudian, dibawa paksa ke suatu tempat sambil diikat kedua tangannya. Berhari-hari ayahnya tidak pulang, dan ternyata termasuk yang dimasukkan di sumur maut dekat di sini (menunjuk ke luar desa), bersama 108 orang. Sarman tertulis di nomor 48 dalam daftar di monumen tersebut.
Masih di Kediri, yakni penculikan disertai pembunuhan, terjadi pasca-G30S/PKI. Korbannya adalah Imam Mursyid dan kawannya, termasuk Kiai Zaenuddin. Atas kesaksian Djaini bin Ramelan (65), adik kandung korban Imam Mursyid. Menurut salah seorang yang ikut mengubur, ia cuma bilang bahwa Imam Mursyid dicegat di tengah jalan, kemudian dibawa ke Desa Besowo, dioper ke sana-kemari, sampai akhirnya diikat terus dimasukkan ke jurang sungai.
Sungainya sangat curam, setinggi pohon kelapa. Penculikan terjadi sekitar 10 Oktober 1965. Keadaan mayat, badannya masih utuh, tapi diikat kencang. Perkiraan saksi, korban dimasukkan di sumur itu saat masih hidup, kemudian ditimbuni tanah.
Kasus Takeran (Sumur Kenongo Mulyo) terungkap atas kesaksian Kaelan Suryo Martono (73), beralamat di Desa Giringan, pekerjaan sebagai petani di Jawa Timur. Peristiwa Takeran terjadi pada 1948.
Keterangan kasus Takeran diperkuat salah seorang saksi korban bernama Hadi Syamsuri (80), pensiunan naib (petugas pernikahan) di Takeran. Ia diculik dan digiring ke Desa Baeng dan ditahan di sana. Di situ sudah ada sekitar 80 orang Muslim ditahan. Selama 40 hari ia ditahan di Baeng.
Di tempat tawanan ditemui sejumlah lurah yang juga ditawan. Selama ditahan, mereka tidak diberi makan. Sebagian kawan lain ditahan di Desa Cigrok. Selama di tahanan, orang-orang PKI itu merampas kerbau dan sapi milik warga. Tiap hari mereka memotong kerbau atau sapi untuk pesta yang berjaga di Baeng. Pada saat tentara Siliwangi datang, mereka yang ditahan di Desa Cigrok dibunuh semua oleh PKI. Sedangkan, yang di Baeng berhasil menyelamatkan diri.
Kasus Kresek, Madiun, terungkap berdasarkan kesaksian KH Ahmad Junaedi, anak kandung salah seorang korban bernama KH Barokah Bachruddin. Sejumlah kiai diculik dan dibunuh. Diduga kuat sebelum dibunuh, mereka dianiaya.
Menurut para saksi, para kiai itu ada yang matinya ditembak, dipenggal lehernya, dipukul dengan benda tajam. Kiai Shodiq satu-satunya yang dibunuh dengan cara didorong ke lubang dalam keadaan tangan terikat kemudian diurug (ditimbun tanah). Husnun, salah seorang saksi, mendapat keterangan dari para saksi lain bahwa para penculiknya waktu itu membawa parang, tali, benda tumpul, selain senjata api.
Terungkapnya kasus pembantaian di Markas Gebung, Ngawi, Jawa Timur, berdasarkan keterangan para saksi korban penculikan di Desa Gebung. Korbannya ditahan 12 hari, hampir-hampir tidak diberi makan. Mereka terkurung di dalam rumah yang terkunci, lalu rumah dibakar.
Orang-orang PKI tetap siaga di luar rumah, lengkap dengan senjata tajam sehingga tawanan yang mencoba kabur ditangkap lagi dan dimasukkan ke dalam api atau dibunuh langsung. Setelah peristiwa usai, kemudian dibersihkan, ditemukan banyak mayat, tujuh orang di antaranya dipindahkan ke Makam Pahlawan Ngawi.
Perspektif HAM
PKI secara sistematis melakukan kejahatan pelanggaran HAM berat atau diduga kuat melakukan pelangaran HAM berat. Indikasi ke arah itu bisa dilihat dari fakta yang dikumpulkan. Rapat-rapat oleh para pimpinan Biro Khusus PKI dan Pimpinan CC PKI dalam mempersiapkan pengambialihan pemerintahan pada 1965 sangat memperkuat indikasi itu.
Gerakan 30 September 1965 adalah realisasi tindakan sebagaimana telah mereka rencanakan. Gerakan ini terorganisasi sistematis, yakni melalui struktur organisasi: tingkat pusat (CCPKI), Comite Daerah Besar (CDB PKI), Comite Kota (CK PKI) sampai ke Comite Seksi (CS PKI) sebagai comitte basis. Pelanggaran HAM berat dilakukan dalam beberapa bentuk.
Penghilangan nyawa, yang didahului penculikan dan penyiksaan tanpa proses hukum. Ini terjadi pada kasus, antara lain, pembunuhan enam jenderal TNI AD, seorang perwira, dua perwira TNI AD di Yogyakarta, serta penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan para kiai, pemuka masyarakat, dan warga tak berdosa di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pelanggaran terhadap hak hidup menyalahi Pasal 28 A dan 28 I UUD 1945 yang menerangkan bahwa hak hidup merupakan hak seseorang dan hak hidup itu tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Pembunuhan juga melanggar Pasal 4 UU No 39/1999 tentang HAM, Pasal 3 DUHAM, Pasal 6 Konvenan Inernasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Pembunuhan dengan sasaran orang-orang berpengaruh di masyarakat, seperti pada peristiwa Lubang Buaya Jakarta dan peristiwa di Jawa Timur menunjukkan adanya target politik tingkat tinggi dan merupakan teror mental yang berdampak psikologis luar biasa di masyarakat. Timbulnya keresahan sosial yang meluas sebagai akibat aksi itu merupakan pelanggaran Pasal 9 Ayat 2 UU No 39/1999 tentang Hak untuk Hidup Tentram, Aman, Damai Bahagia, Sejahtera Lahir Bathin.
Penggerebekan disertai teror, antara lain, pada peristiwa Kanigoro, oleh orang-orang PKI melanggar HAM, khususnya Pasal 3 dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang menyatakan setiap orang berhak atas kehidupan, keamanan, dan kemerdekaan pribadi.
Penyiksaan sebelum pembunuhan juga terjadi terhadap sejumlah orang di Solo pada 1965. Di Manisrenggo dan atau Jatinom, Klaten, pada 1948 dan 1965 dengan sasaran penduduk sipil merupakan kejahatan kemanusiaan dan melanggar Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment. Juga melanggar Pasal 4 dan Pasal 33 UU No 39/1999 tentang Hak untuk Bebas dari Penyiksaan, Penghukuman atau Perlakuan Kejam, tidak Manusiawi, Merendahkan Derajat dan Martabat Manusia.
Penghilangan secara paksa juga terlanggar dengan adanya penculikan terhadap lawan politik atau orang yang dianggap lawan politik PKI. Ini terjadi pada peristiwa Lubang Buaya serta penculikan para kiai di Madiun, penyekapan dan pembunuhan di Ngawi. Tindakan ini melanggar Pasal 33 Ayat 2 UU No 39 tentang HAM yang menyatakan setiap orang harus bebas dari penghilangan secara paksa.
Marzani Anwar
Peneliti Utama pada Balai Litbang Agama Jakarta, Koordinator Penelitian “Pelanggaran HAM oleh PKI” Komnas HAM Tahun 2005
____________________________________________________________________________________
Ahmad Mansur mengemukaan beberapa aksi kudeta PKI antara lain
- Kudeta PKI di Cirebon, 12 Februari 1946
- Kudeta PKI di Jogjakarta, 3 Juli 1946
- Kudeta PKI di Madiun, 19 September 1948
- Kudeta PKI di Jakarta 30 September 1965 dipimpin DN AidiD
Ahmad Mansur Suryanegara juga menegaskan bahwa “PKI bukan korban keganasan, tapi justru PKI lah pelaku pembantaian. Terakhir terhadap pahlawan revolusi di Lubangbuaya”
Baca juga Kekejaman PKI terhadap ulama di Indonesia