HomeIndeks

KH. Bisri Syansuri: Ulama Fikih Visioner, Pendiri Pesantren Denanyar, dan Rais ‘Aam PBNU

H. Bisri Syansuri: Ulama Fikih Nahdlatul Ulama, Pendiri Pesantren Denanyar dan Rais Aam PBNU
H. Bisri Syansuri: Ulama Fikih Nahdlatul Ulama, Pendiri Pesantren Denanyar dan Rais Aam PBNU

INITU.IDSiapa ulama yang sanggup menyatukan umat Islam di masa-masa kritis, menjadi rujukan Presiden, dan wafat diiringi lautan manusia? Sosok itu adalah KH. Bisri Syansuri – ulama besar Indonesia, ahli fikih yang tak tergantikan, sekaligus Rais ‘Aam PBNU periode 1971–1980.

Awal Kehidupan: Lahir di Tengah Cahaya Keilmuan

KH. Bisri Syansuri lahir pada 28 Dzulhijjah 1304 H (18 September 1887), meski data lain menyebut 05 Dzulhijjah 1304 H (23 Agustus 1887). Sejak usia muda, ia telah menunjukkan kecintaan luar biasa terhadap ilmu agama. Perjalanan intelektualnya dimulai dari berbagai pesantren besar seperti Tebuireng (asuhan KH. Hasyim Asy’ari) dan Demangan Bangkalan (asuhan Syaikhona Kholil).

Tahun 1911/1912, beliau melanjutkan studi ke Mekkah—pusat keilmuan Islam dunia saat itu. Di sana, ia memperdalam ilmu fikih dan menjadi cikal bakal ulama besar yang kelak akan menuntun umat.

Mendirikan Pesantren Denanyar: Tonggak Pendidikan Islam Nusantara

Sekembalinya dari Mekkah pada 1914, Kiai Bisri menikahi Nyai Nur Khodijah. Pada 1917, ia mendirikan Pesantren Denanyar di Jombang, Jawa Timur, sebagai pusat pendidikan Islam yang berorientasi pada penguasaan fikih. Dua tahun kemudian, pada 1919, ia bersama sang istri mendirikan pesantren putri – sebuah langkah progresif dalam dunia pesantren saat itu.

Peran Sentral dalam NU dan Perjuangan Bangsa

Kiai Bisri Syansuri merupakan salah satu ulama penting dalam Nahdlatul Ulama (NU). Ketika KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat pada 1971, Kiai Bisri diangkat sebagai Rais ‘Aam PBNU. Ia dikenal sebagai figur moderat yang tegas, mampu menavigasi dinamika umat di tengah perubahan sosial-politik Indonesia pasca-kemerdekaan.

Wafatnya Sang Ulama: Lautan Duka Menyambut Kepergian

KH. Bisri Syansuri wafat pada Jumat, 25 April 1980 pukul 17.05 WIB, di usia 93 tahun (09/10 Jumadal Akhir 1400 H). Wafatnya beliau mengguncang hati umat Islam Indonesia. Interlokal ke seluruh Jawa, Madura, hingga Jakarta segera dilakukan oleh para santri yang ingin menyampaikan kabar duka kepada keluarga.

Jenazah dishalatkan sebanyak 32 kali di Ndalem Kasepuhan, sebelum dipindahkan ke Masjid Denanyar. Ribuan manusia memadati jalan-jalan sekitar pesantren. Bahkan, pengumuman bahwa jenazah hanya akan diusung keluarga tidak bisa dijalankan karena antusiasme masyarakat yang ingin mengiringi sang ulama.

Tokoh Nasional Hadir dan Memberi Kesaksian

Prosesi pemakaman dihadiri tokoh-tokoh penting seperti:

  • KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang juga cucu beliau.
  • Prof. Dr. Hamka, Ketua MUI, menyebutnya sebagai “ulama shaleh yang lebih besar dari kehidupan duniawi”.
  • KH. Mahrus Ali (Lirboyo) menyatakan bahwa Kiai Bisri adalah penasihat Presiden Soeharto.
  • KH. Hasan Basri dari MUI mengatakan: “Bangsa Indonesia kehilangan ulama besar yang amat besar jasanya.”

3 Sifat Kiai Bisri yang Sulit Dicari Bandingannya

Menurut KH. As’ad Syamsul Arifin, sosok KH. Bisri memiliki tiga hal luar biasa:

  1. Ketekunan dalam ilmu – mendalami dan mengamalkan ilmu fikih secara utuh.
  2. Wawasan kebangsaan – mampu menjembatani umat dan negara.
  3. Kepemimpinan yang arif – teguh namun bijak dalam keputusan.

Penutup: Warisan Abadi Seorang Ulama Sepanjang Hayat

KH. Bisri Syansuri bukan sekadar ulama biasa. Ia adalah pilar dalam sejarah Indonesia modern, yang menancapkan jejak lewat keilmuan, perjuangan organisasi, dan keikhlasan hidup. Gus Dur menulis:

“Kiai Bisri adalah orang besar… karena ia memilih hidup yang lebih besar dari dirinya sendiri – tunduk total kepada hukum fikih.”

Kehidupan dan wafatnya menjadi inspirasi lintas generasi bahwa ilmu, kesederhanaan, dan keberanian dalam prinsip adalah fondasi sejati seorang ulama.


Fakta Menarik:

  • KH. Bisri Syansuri adalah Rais ‘Aam PBNU pertama yang berlatar belakang ahli fikih murni.
  • Beliau ulama pertama yang melegalkan keikutsertaan perempuan dalam pemilu, dalam Munas NU 1957.
  • Satu-satunya ulama yang dishalatkan lebih dari 30 kali secara bergiliran karena membludaknya jamaah.

Sumber dari tulisan Ahmad Suhendra

Exit mobile version