Ulama Betawi yang lahir di Kampung Bali Matraman, Jakarta pada 16 Sya’ban 1329 Hijriyah bertepatan dengan 10 Agustus 1910 dan wafat pada tanggal 3 September 1985 .
Ayahnya Haji Syafi’ie bin Sairan dan ibunya Nona binti Asy’ari, ia memiliki dua saudara perempuan yakni Hajjah Siti Rogayah dan Hajjah Siti Aminah. Ketika berusia 17 tahun, Abdullah Syafi’ie memperoleh pemberitahuan untuk belajar di langgar partikelir dan ketika berusia 23 tahun mulai membangun Masjid Al Barkah di Kampung Bali Matraman, di sana pula beliau menekuni ajaran Islam, membangun masyarakat.
Beliau pernah berguru kepada Guru Marzuqi Cipinang Muara, Guru Manshur, Guru Romli, Habib Ali Kwitang, dan Habib Alawy bin Tohir Alhaddad, Bogor.
Sekitar tahun 1940-an mulai membangun madrasah ibtidaiyah meski sederhana namun mampu menampung santri di sekitarnya. Tahun 1957 membangun aula As Syafiiyah untuk Madrasah Tsanawiyah lilmuballighin wa muallimin.
Disusul tahun 1965 mendirikan Akademi Pendidikan Islam As Syafiiyah, tahun 1967 mendirikan Radio As Syafiiyah, dan tahun 1968 merintis pengembangan As Syafiiyah di kawasan pinggiran Jatiwaringin.
Pada usia yang relatif masih sangat muda, 18 tahun, Abdullah Syafi’i sudah menikah. Nama isterinya, Siti Rogayah binti KH. Ahmad Mukhtar. Dari hasil perkawinannya dengan Rogayah, Syafi’ dikaruniai lima orang anak. Mereka adalah, Muhibbah, Tuty Alawiyah, Abdur Rasyid, Abdul Hakim dan Ida Farida. Pada tahun 1951, Siti Rogayah, meninggal dunia. Abdullah menikah lagi dengan seorang gadis bernama Salamah.
Dari perkawinan yang kedua ini, Abdullah dikaruniai sepuluh orang anak, mereka adalah, Mohammad Surur, Syarif Abdullah, Mohammad Zaki, Elok Khumaira, Ainul Yaqin, Syafi’i Abdullah, Nufzatul Tsaniyah, Muhammad, Thuhfah, dan Laila Sakinah.
Secara formal, pendidikan Dulloh hanya SR (SD). Tapi dia belajar ilmu agama dari satu ustadz ke ustadz lainnya, dari satu habib ke habib yang lain. Dalam bidang nahwu, ia berguru kepada KH. Abdul Majid (Guru Majid) dan KH Ahmad Marzuki (Guru Marzuqi) dalam bidang fiqih, Habib Alwi Al Haddad dalam bidang tasawuf, tafsir dan ilmu pidato, Habib Salim bin Jindan di Jatinegara dalam bidang ilmu hadist, Guru Mansur dalam bidang falaq dan Habib Ali Kwitang.
Saat belajar kepada Habib Ali, ia bersama KH. Fathullah Harun dan KH Tohir Rohili dipersaudarakan oleh Habib Ali dengan putranya, Habib Muhammad AI-Habsyi. Dari KH. Abdullah Syafi’i dan KH. Tohir Rohili berdiri dan berkembang pesat majelis taklim As-Syafi’iyah dan At- Tahiriyah.
Sedangkan KH. Fathullah Harun menjadi Ulama Betawi terkenal di Malaysia dan menjadi Imam Besar di masjid Negara Kuala Lumpur.
Hal tersebut menunjukkan bahwa cara belajar yang digunakan KH. Abdullah Syafi’i adalah Rihlah ilmiyah yang di dalam dunia Islam sudah lama dikenal.
Di antara cara belajar yang digunakan KH. Abdullah Syafi’i adalah setiap hari tidak kurang dari 4 jam ia pergunakan untuk membaca kitab yang dilanjutkan dengan membuat catatan yang berupa inti sari dari kitab yang dibacanya. Salah seorang putranya, Abdul Rasyid mengatakan, bahwa KH. Abdullah Syafi’i memiliki semangat menuntut ilmu yang tinggi dan pembaca yang kuat, bahkan sebelum ia dipanggil Allah SWT masih sempat meninggalkan sebuah kitab untuk dibaca.
Setelah ia merasa cukup memiliki bekal pengetahuan agama, maka mulailah ia berusaha mengamalkannya. Pada usia yang tergolong muda, yaitu usia 18 tahun, ia telah mendirikan madrasah di atas lahan seluas 8000 m2. Tanah itu berasal dari pemberian orangtuanya di Kampung Bali Matraman. Awalnya didirikan Madrasah Islamiyah yang akhimya berganti nama menjadi Perguruan AsSyafi’iyah.
Masjid Al-Barkah
Di usia 23 tahun atau pada tahun 1933 ia mendirikan Masjid Al-Barkah. Dalam perkembangannya Masjid Al-Barkah digunakan sebagai tempat pengajian yang selanjutnya berkembang pesat sehingga membuat cabang di Kebon Jeruk Jakarta Barat, Pejaten Jakarta Selatan dan Bekasi Jawa Barat.
Seiring dengan perkembangan pengajian, Madrasah Diniyah pun berkembang. Pada tahun 1957 didirikan Madrasah Tsanawiyah (MTS), Raudhatul Athfal pada tahun 1969. Setahun kemudian, didirikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
Baca Juga “Biografi Habib Ali Bin Abdurahman Assegaf.”
Pengembangan lembaga pendidikan formal ini tidak hanya di Bali Matraman tetapi juga di Jatiwaringin. Selain itu juga mengembangkan kegiatan sosial, seperti poliklinik, pondok yatim piatu dan untuk kepentingan dakwah didirikan Radio AKPI As-Syafi’iyah. Selain sebagai pendidik yang tekun, KH. Abdullah Syafi’ ie juga termasuk orang yang gemar bergaul dengan tokoh-tokoh masyarakat pada tingkat nasional dan dari berbagai etnis, seperti Ambon, Bali, Jawa dan Sumatra.
Dalam kaitan ini ia pemah bergabung dalam Masyumi dan dekat dengan Muhammad Natsir, bahkan ia berhasil mengajak Natsir masuk ke dalam Majlis Dzikir Mudzakaroh untuk mengkaji kitab kuning.
Setelah Masyumi bubar, KH. Abdullah Syafi’i tidak lagi berkiprah dalam bidang politik. Dia mengabdikan dirinya untuk pendidikan dan Majlis Ulama Indonesia hingga ia menjadi Ketua I MUI Pusat. Pada tahun 1978-1985, ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Ketua Umum MUI DKI Jakarta dan kemudian pada tahun 1982 ia ditunjuk sebagai penasihat MUI Pusat yang pada waktu itu diketuai oleh Buya Hamka.
Dalam kedudukannya sebagai ketua MUI DKI Jakarta ini ia menjalin hubungan baik dengan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta. Selama hidupnya, KH Abdullah Syafi’ie sempat membut karya tulis. Di antara karya tulisannya:
- Al-Muasasat Al-Syafiiyah Al- Ta’limiyah.
- Bir Al-Wiilidain.
- Penduduk Dunia Hanya ada Tiga Golongan.
- Mu’jizat Sayiduna Muhammad.
- Al-Dinu waAl-Masjid.
- Madarij Al-Fiqh.
Pada tanggal 3 September 1985 KH. Abdullah Syafi’i tutup usia dan dimakamkan di Perguruan Islam As-Syafi’iyah, Jatiwaringin, Pondok Gede, perbatasan Bekasi-Jakarta Timur.